"Gue Marco," bisiknya kemudian tersenyum dingin.
Leya membulatkan matanya terkejut. Apa ia baru saja bermimpi? Tidak... dia tidak sedang bermimpi.
"Ma-Marco?" Tanya Leya memastikan. Leya gagap seketika. Bulu romanya berdiri merinding.
Oh Tuhan... jangan ambil aku sekarang... pikirnya di dalam hati.
Marco tertawa dingin, kemudian menjauhkan tubuhnya dari Leya. Ia duduk di atas punggung sofa, masih menghadap Leya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Lo kelemahan Gleen. Ya, walaupun gue tahu cowok itu terlalu banyak kelemahannya, karena dia memang lemah." Marco mengedikkan bahunya dengan wajah sombong. "Gue bisa membunuh siapa aja dengan mudah, kemudian melimpahkannya ke cowok lemah itu, toh mereka semua akan berpikir dia lah yang bunuhin orang lain."
Leya semakin melebarkan matanya terkejut. Astaga... apa yang baru saja ia dengar dari Marco? Apa... ini sebuah pengakuan?
"Gue juga bisa menyakiti lo sekarang. Sayangnya, gue gak punya terlalu banyak waktu. Dan gue juga bukan pengecut menjijikan." Dia mengangkat sudut bibirnya, tersenyum miring. "Gleen itu pengecut bego. Sok jenius aja dia, padahal gak tahu apapun. Dia terlalu banyak ngelimpahin kesulitan ke gue. Terlalu manja. Makanya kasus mudah begini aja gak bisa dipecahin, dasar bego."
Leya diam, mendengarkan dengan seksama walaupun sedikit ketakutan. "Memangnya lo tahu siapa Grimm?" Tanya Leya. "Atau... apa... lo adalah... Grimm?"
"Gue?" Marco tertawa. Marco tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya, kemudian memain-mainkan pisau itu. Leya kembali membeku di tempat. Marco perlahan mendekati Leya. "Lo lihat pisau ini? Siapapun bisa memegangnya. Jangan cari siapa yang memegang pisau ini. Carilah, siapa yang menyuruh orang lain memegangnya. Apa yang kamu pikirkan, tidak seperti apa yang terlihat." Marco menyentuh pipi Leya kali ini bukan menggunakan tangannya, melainkan menggunakan pisau tajam itu. Leya memejamkan mata sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Dimana Leya pernah mendengar kalimat ini? Apa yang kamu pikirkan, tidak seperti apa yang terlihat. Tunggu sebentar... Leya mulai ingat. Ini... kata-kata dari Grimm...
Detik kemudian, bahkan tanpa Leya sadari, pisau di tangan Marco sudah menancap di dinding, 1 inchi di samping telinga Leya. Bila tadi Leya bergerak sedikit saja, sudah jelas pisau itu akan menancap ke wajahnya. Astaga... Leya semakin gemetaran. Ia ketakutan. Marco bisa melakukan apa saja. Tapi, Marco bilang waktunya terbatas. Justru sekarang, Marco seperti berniat menyakiti Leya.
"Gue..."
Tiba-tiba... Buukkkk...
Apa itu? Leya membuka matanya perlahan. Astaga... Marco terjatuh ke lantai. Dia... pingsan? Tak sadarkan diri...
Leya masih tak bisa bergerak, tubuhnya terasa kaku. Tapi, Marco kembali bangun sambil memegangi kepalanya. Ia menatap Leya, tatapannya berubah jadi... lembut dan kekanakan? Apa... ini Gleen?
"Kakak gak papa?"
Suaranya... suara khas anak kecil. Apa ini Leo?
"Le-Leo?" Tanya Leya masih gelagapan dan was-was.
Leo tersenyum manis sambil mengangguk, tapi kemudian wajahnya berubah khawatir, "apa tadi ada Kak Marco? Maaf Kak... apa aku terlambat?" Katanya seperti hendak menangis.
Astaga... ini hari teraneh seumur hidup. Melihat Gleen bertingkah seperti ini... cukup menakutkan dan aneh. Ya Tuhan... tapi, untung saja Leo muncul. Kalau tidak, mungkin saja pisau tadi sudah menancap di wajahnya.
"Enggak Leo. Kamu datang di waktu yang tepat." Leya tak lagi ketakutan. Ia duduk sambil membelai rambut Leo. Tiba-tiba Leo menangis, kencang sekali dan langsung memeluk Leya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Once Upon a Time (Dahulu Kala)
Mystery / Thriller[COMPLETE, TERSEDIA DI GRAMEDIA, SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS]Dongeng memiliki sisi gelap, terutama bagi mereka yang tak suka akhir bahagia. Mereka membuat dongeng sendiri. Namanya Gleen Warren Rajendra. Tampan, jenius, introvert, cold, namun begitu...