Prolog

297 22 11
                                    

Desember 2005,

    Butiran air mulai berjatuhan membasahi tanah yang dipijaknya, sebuah payung cantik berwarna merah muda melindunginya dari bawah sana. Rok panjang yang ia kenakan mulai basah di bagian ujungnya, sepatu converse putih yang ia pakai sudah basah dan meninggalkan noda yang begitu kontras dengan warnanya. Fanya mulai berlari ketika pintu pagar kayu itu mulai terlihat oleh matanya. Pintu depan kayu berukiran kuno sudah terlihat sangat berumur ditambah dengan rayap yang senantiasa setia menggerogoti.

Fanya mendapati pintu rumahnya terbuka lagi, seperti sudah biasa menemukan pemandangan tersebut, wajahnya sama sekali tak menunjukan adanya rasa was-was atau takut. Fanya berjalan ke arah dapur sembari memegangi perutnya yang terasa perih, tubuh mungilnya berusaha menggapai lemari penyimpanan mie instan di dapurnya, bau alkohol mulai menusuk indra penciumnya ketika ia mulai memasak mie. Ia sudah sangat hafal dengan aroma alkohol seperti ini setiap harinya, bungkusan makanan dan kulit kacang yang berserakan dilantai menandakan telah terjadi pesta miras di rumahnya semalam. Fanya tak pulang kemarin lantaran ia harus membantu bibinya untuk berjualan di pasar malam. Derit sura pintu yang terbuka membuatnya menoleh untuk sekejap memastikan apakah itu ibunya yang datang. Ia besar karena bibi dan bantuan dari tetangganya, bersyukur memiliki bibi yang hidup berkecukupan sehingga ia bisa tetap makan setiap harinya. Jika hanya mengandalkan ibunya mungkin ia sudah berada di balik papan sekarang.

"Kau dirumah?" ucap Ibunya. Rasanya ia ingin sekali berteriak di depan wajah ibunya, tapi akal sehatnya masih berfungsi untuk tidak melakukan itu. Fanya ingin sekali mendengar kalimat-kalimat yang menunjukan rasa sayang keluar dari bibir ibunya.

"Ibu udah makan? Mau sekalian anya buatin mie rebus?" tanya fanya..

"Aku sudah makan." Jawab ibunya dan langsung menghilang dari pandangan Fanya.

Fanya yang hanya seorang gadis kelas 1 SMP harus merasakan sulitnya masa yang ia lewati, dimana seharusnya anak seusianya harus mendapatkan kasih sayang yang lebih dari orangtua. Masa pubertas, perasaan labil, dan emosi yang cenderung tidak stabil harusnya mendapatkan perhatian serius, sehingga pada saat dewasa ia tak akan menjadi gadis yang kesepian dan kurang perhatian.

Fanya membersihkan kulit kacang dan bungkus makanan yang berseraka tersebut sebelum ia memakan mienya. Begitulah Fanya. Ia rela menunda makannya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah terlebih dahulu, dengan perut yang makin terasa perih, keringat yang berjatuhan ia terus menggosok lantai itu, hingga sebuah tangan menariknya untuk berhenti.

"Apa yang kau lakukan gadis bodoh?" bentak ibunya. Fanya tertegun mendengarkan perkataan ibunya, " biarkan si brengsek itu yang membersihkannya, lagipula dia yang mengacauian rumah ini!."

"Tidak apa, Bu. Biar aku saja yang membersihkannya," ucap Fanya sembari menggosok kembali lantai yang kusam itu. "Makan saja makananmu, dan pergilah ke rumah bibimu. Ambil beberapa uang di lacinya kemudian berikan padaku."

"Tidak! Ibu akan memberikan uang itu padanya kan? Kau menghianati Ayah, kau juga sama dengan Ayah bu!"

    Fanya berlari menuju kamarnya meninggalkan ibunya yang masih berdiri di ruang tengah. Mie yang ia rebus sudah mengembang dan mendingin. Susan-ibunya, mengambil mie itu kemudian membuangnya di tempat pencucian. "Rasakan, sekalian kau tak makan hari ini-anak-pembangkang."

    Fanya menangis di dalam kamarnya-menutup wajahnya dengan bantal. Ia mulai menyusun rencana untuk pergi dari rumah dengan bayangan ia mungkin akan bertemu orang yang berbaik hati yang mau mengadopsinya. Fanya mulai memasukan beberapa pakian kedalam tasnya. Celengan yang ia sembunyikan dibawah kasur terpaksa harus ia pecahkan, uang yang sudah ia tabung sejak SD dari hasil membantu bibinya kini akan ia gunakan untuk membeli makanan nanti. Ia mulai berlari meninggalkan rumah tua itu, kini Fanya bebas dari sangkar yang mengurungnya. Saatnya ia terbang untuk memperjuangkan hidupnya di alam bebas, ditengah gemerlapnya kota jakarta.

    Fanya menyusuri jalan demi jalan, tanpa tau kemana tujuannya, ia hanya mengikuti kata hatinya dan kemana kakinya akan membawanya. Ia percaya bahwa akan ada banyak orang baik yang mengasihaninya. Sebuah warung di ujung jalan mengeluarkan aroma yang cukup menggoda, membuat perutnya yang belum tersentuh makanan jadi berbunyi.

    "buk, nasinya 1 saya minumnya air putih aja." Ucap Fanya memesan.

    "iya, dik. Baru pulang sekolah ya?" tanya ibu penjual nasi yang umurnya kira-kira memasuki kepala lima.

    "Iya bu, kebetulan lewat sini, jadi mampir makan dulu," jawab Fanya berbohong.

    Fanya duduk di tepian pertokoan, sambil menatap nanar kendaraan yang lalu lalang. Sebuah mobil mewah berhenti didepannya, kaki bersepatu hak tinggi berwarna pink norak turun dari dalam mobil. Dibalik pintu yang mulai menutup menampilkan sosok cantik dengan wajah ramah serta pakian yang serba mewah menutupi kulit putihnya. Ia memandangi Fanya sesaat dari atas hingga bawah, "adek, kok sendirian disini, Mama kamu mana?!"

    Fanya hanya melongo melihatnya.

    "Kamu sendirian ya? Mau ikut sama tante gak?"ucap perempuan itu sambil membelai rambut panjang Fanya.

    "Kemana?" tanya Fanya tanpa adanya penolakan dalam nadanya.

    "Kerumah tante sayang, tante punya banyak anak cewek dirumah seusia kamu, siapa tau bisa jadi temen kan."

    "Serius, tante?!" Fanya terlihat gembira mendengar bahwa ia akan punya banyak teman. Fanya tersenyum kemudian mengikuti langkah perempuan itu masuk ke dalam mobil. Fanya yang tidqk pernah merasakan punya teman tentu merasa sangat gembira. Aktifitas sehari-harinya membatu bibinya di rumah makan membuat waktunya habis, sehingga ia tak bisa merasakan masa remaja yang layak ia rasakan. Deru kendaraan seolah memecah keheningan ibukota yang biasanya padat akan kendaraan, tak ada lagi suara klakson yang saling sahut menyahut, pedagang kaki lima dan penjual koran terlihat duduk-duduk di pinggir jalan dengan wajah muram- sambil membayangkan nasib mereka jika dagangan mereka tidak laku. Fanya merasa beruntung dikala ada perempuan baik seperti ibu Sarah- perempuan yang kini duduk disebelahnya dengan tatapan mata teduhnya.

    Pagar besi itu mulai membuka secara otomatis saat mobil mewah itu mulai mendekat. Hamparan taman yang begitu luas mulai menampilkan berbagai jenis pohon cemara besar dan pohon palem memenuhi tamannya. Tingginya pohon-pohon itu sedikit menutupi istana besar yang berada dibaliknya, gedung putih berlantai dua itu mulai terlihat jelas ketika mobil terparkir di depan pintu utama. Fanya hanya bisa berdecak kagum melihat pemandangan yang tak pernah ia dapati di komplek rumahnya. Fanya memang tinggal di Jakarta, tapi komplek rumah yang ia tempati seolah mendapat pembatas besar lewat sungai yang memiliki arus deras itu. Para orang kaya itu terasa tak bisa ia raih walaupun hanya dibatasi sungai, mereka para orang kaya seolah membangun dinding tak kasat mata diantara mereka. Bagi Fanya hidup adalah sebuah dosa dimasa lalu yang harus ia tebus sekarang, sehingga penderitaan tida henti menemaninya.

    Pintu utama mulai membuka ketika Diana mulai menuruni mobil mewahnya, bersamaan dengan turunnya Fanya dengan pakian yang terlihat mencolok perbedaannya. Fanya mengikuti langkah Diana dari belakang sambil sesekali mengamati segaligus mengagumi perabotan yang begitu mengkilap di setiap sudut rumah. Terdengar sura teriakan khas remaja dari balik dinding kaca tebal yang memperlihatkan pemandangan kolam renang.

    "Bunda baru pulang ya?" tanya remaja berambut coklat, yang memiliki ukuran tubuh lebih tinggu dari yang lain.

    "Ohiya, bunda punya temen baru buat kalian.. Amel, Clara, Iva, dan Bunga ayo kesini kenalan sama Fanya"

Fanya kemudian menjabat tangan mereka satu persatu. Mungkin ini akan menjadi awal dari kehidapanya, begitulah yang Fanya pikirkan.

Diary FanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang