Aku menangis, meraung-raung sendiri di dalam kamar ku. Aku tidak peduli akan bagaimana terganggunya orang lain akan tangisanku. Yang jelas aku ingin menghilangkan sesak di dadaku.
Retno.. Inikah pada akhirnya? Inikah akhir dari kisah Cinta kita? Cinta yang tak di restui ?
Ayah mengapa engkau tega sekali, membiarkan aku menangis seperti ini. Bahagiaku adalah dia, dan kini kebahagiaanku hilang sudah.Meratapi nasib yang sedang aku alami saat ini, membuatku lelah. Aku seperti di hadapkan dengan buah simalakama. Aku mencintai Retno, tapi aku juga sayang ayahku..
Lalu aku harus memilih salah satu dari mereka, yang jelas-jelas tidak akan pernah bisa. Oh Tuhan.. cobaanmu ini berat sekali.. apa salah dan dosaku padaMu sehingga Kau menghukumku sampai sedemikian rupa? Ini terlampau sakit ya Tuhan. Harus bagaimana lagi aku agar bisa terlepas dari rasa sedih ini?
Aku menatap benda itu, menatap benda runcing yang tergeletak di meja nakas kamarku. Mataku berkilat, menatap benda itu seolah dia pun ikut memanggil namaku untuk segera mengambil benda itu. Entah setan apa yang kini tengah merasuki jiwaku. Aku meraih benda itu. Sedikit merasa bersedih atas apa yang aku lakukan, mengapa aku selemah ini? Hati kecilku berkata tidak tapi ragaku menginginkannya. Dan..
"Selamat tinggal kalian.."
Aku mengangkat benda itu ke udara dan siap menerjangkannya tepat ke jantungku. Tapi sebuah teriakan menginterupsiku.
"Kakak! Astaga apa yang kau lakukan?!" Teriak seseorang padaku. Dia adikku, Dewi.
Secepat kilat dia berlari dan menubrukkan tubuhnya ke tubuhku. Mengakibatkan gunting yang sedari tadi aku pegang jatuh ke lantai.
"Kakak, astaga kau sudah gila hah?!! " ucapnya mengguncang bahuku. Berusaha menyadarkanku dari kegelapan yang tengah aku alami saat ini. Aku tidak menjawab, melainkan kembali meraung meratapi nasibku.
"Kenapa kau tidak membiarkannya saja hah?! Kenapa kau menyelamatkan ku? Seharusnya kau biarkan saja aku mati. Lagipula apa untung nya hidup di dunia jika kebahagiaan pun tak pernah berpihak kepada ku?" Jeritku, tak perduli semua orang di rumah ini akan mendengarnya ataupun tidak.Toh, tidak akan ada yang perduli lagi kan? Ayah juga sama, tetap pergi meninggalkan aku di saat aku menangis di luar tadi. Ku lihat Dewi menatapku iba, sekaligus kebingungan akan semua ini.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Ceritakanlah.. aku berjanji tidak akan menceritakannya kepada ayah.." ucapnya menenangkan.
Dengan masih sesenggukan, aku menceritakan semuanya pada Dewi, pada adik perempuanku yang aku rasa sudah cukup dewasa untuk mengetahui ini, usianya 17 tahun.
"Dewi.. coba bayangkan bagaimana bila ini semua terjadi padamu? Apa yang akan kau lakukan? Mengapa semuanya melarangku untuk berhubungan dengan Retno? Kenapa..." rintih ku padanya.
Dewi menuntunku untuk memeluknya, dia memelukku hangat. Mencoba menenangkanku, dengan usapan tangannya di kepalaku.
Katakan jika aku cengeng saat ini, dan ya, itulah jawabannya."kak, sudahlah.. kau tidak seharusnya seperti ini. Apa kau fikir dengan cara membunuh dirimu sendiri masalah akan hilang begitu saja? Tentu tidakkan? " katanya menatapku. Sementara aku masih sibuk dengan tangisku yang masih terdengar sesenggukan.
"Ayah punya sesuatu yang tidak bisa kau mengerti kakak ku.. insting, naluri seorang ayah datang ketika melihat kau hampir jatuh dalam jurang kesalahan. Itulah sebabnya ayah melarang mu untuk berhubungan lagi dengan Retno. Percayalah jika itu yang terbaik.." ucapnya sekali lagi meyakinkan ku.
Tidak ku pungkiri bahwa ucapannya saat ini adalah obat yang manjur untuk diriku saat ini. Mengingat semua orang yang hanya bisa bicara, 'tinggalkan saja dia,'cari saja yang lain,' hidup mu akan jauh lebih bahagia dengan yang lain,' dia akan menyakiti mu'. Omong kosong! Mereka tak benar-benar tahu apa yang Retno lakukan, tapi sudah berani menilai nya dengan yang tidak-tidak. Aku tidak tahu akan seperti apa hukuman orang-orang seperti itu di neraka nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny
RandomKalau tahu akan jadi seperti ini jadinya, kenapa aku tidak mulai dari awal cerita dalam diam ku? Rasanya menyenangkan hanya bicara dengan hati. Tidak perlu mendengarkan yang lain bicara, cukup dengarkan hati ku. Ku rasa senja juga melakukan yang sa...