Aku sudah sampai di rumah. Bunda, dan kedua adik ku menyambut kedatangan ku dengan tangisan. Bunda memelukku erat saat aku baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah. Tangis nya semakin pecah saat melihat luka memar yang ada di pipi ku. Aku ikut menangis bersama bunda, aku ikut terbawa suasana. Dewi yang sedari tadi hanya melihat ku saja, sekarang sudah ikut memelukku.
"Apa yang kau lakukan kepada anak mu Edo!" Ucap bunda di sela tangis nya sambil menatap ayah yang masih terdiam di tempat nya. Ayah tidak menjawab. Bunda menuntunku untuk duduk di kursi ruang tamu sambil masih memelukku. Tangisan nya tak henti-henti dan jujur itu juga yang membuat ku tak bisa menghentikan tangis ku.
Berulang kali juga bunda mengecupi puncak kepala ku. Ayah mengambil posisi duduk di hadapan ku, Dewi dan Deni di samping ku, sedangkan paman di sebelah ayah.Aku tidak menyangka keputusan ku berubah menjadi petaka seperti ini. Aku juga sudah tidak tahu arah hubungan ku dan Retno akan kemana selanjutnya. Aku sudah menyerah, sungguh aku menyerah. Aku tidak ingin lagi melihat orang yang aku cintai menangis tersedu di hadapan ku seperti ini. Seperti Retno dan bunda yang tak kuasa menahan air matanya di hadapan ku. Aku juga sudah tidak ingin melihat Retno dalam masalah lagi, aku sudah tidak sanggup melihat nya menderita hanya karena mempertahankan hubungan kami. Aku menyerah, dan pasrah akan semuanya.
"Sudah pernah ayah bilang bahwa ayah tidak pernah setuju dengan hubungan mu dan manusia itu, mengapa kau masih berani melawan ayah?" Tanya ayah dengan nada dingin nya. Aku tidak menjawab, dan mungkin itu juga lah yang membuat amarah ayah kembali terbakar.
"Jawab Iren!" Bentaknya.
"Karena aku tidak semudah itu terhasut oleh omongan orang-orang yang bermulut banyak." Jawab ku dengan lantang. Kini aku sudah tidak merasa takut lagi dengan bentakan ataupun sikap dingin ayah pada ku. Entahlah itu semua mengalir ke mana, yang jelas aku sudah tidak bisa berfikir secara sehat di sini. Aku mengedepankan amarah ku. Tapi perlu di ingat, aku juga masih punya batasan, antara anak dan ayah nya.
Berkali-kali bunda mengelus pundak ku, mencoba menenagkan ku. Tapi aku rasa itu semua sudah tidak ada gunanya lagi, karena aku sudah mati rasa. Bahkan saat ini entah apa yang aku tatap. Fikiran ku berkelana jauh ke belakang, ingatan ku kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu. Saat Retno menangis di hadapan ku, saat Retno berusaha menyelamatkan aku dari tamparan ayah. Itu semua masih teringat jelas sampai saat ini.
"Ayah punya bukti, bahwa Retno memang tidak baik untuk mu." Kata ayah lalu pergi meninggalkan kami di ruang tamu. Beberapa saat kemudian ayah datang dengan membawa sebuah amplop besar yang entah apa isi nya.
"Lihat sendiri!" Katanya sambil melempar amplop itu ke arah ku. Aku menyeka sisa air mata di pipi ku sebelum membuka amplop itu, kemudian dengan perlahan aku mengeluarkan isi nya dari amplop. Betapa terkejut nya aku saat mengetahui isi amplop itu adalah foto. Foto seorang yang aku cintai, seorang yang aku bangga-banggakan di depan ayah, seorang yang sudah membuatku hampir mati karena mencintai nya. Dia Retno, dengan seorang gadis yang ku rasa ada di sebuah bar. Dan tunggu, aku rasa aku pernah melihat wanita ini. Ingatan ku berputar saat pertama kali Retno mengajak ku keluar malam. Saat kami berhenti di sebuah kedai es dan aku melihat wanita itu menatap ku dengan tajam.Aku kembali menangis, entah harus bagaimana aku, aku tak tahu. Apakah aku harus percaya dengan semua ini, atau tidak aku juga tidak tahu. Aku takut ini semua hanya rekayasa ayah saja. Hanya siasat mereka untuk menghancurkan hubungan ku dan Retno. Aku mendengus, tersenyum pahit melihat kenyataan yang seolah memperolok-olokku. Membuat hatiku semakin teriris, dan akhirnya harus terluka sangat parah. Entah apa lagi yang mereka rencanakan saat ini, secara sadar aku tidak percaya dengan apa yang mereka tunjukkan. Tapi di hati kecil ku sendiri, terbesit rasa curiga pada Retno. Aku mulai tidak yakin akan pernyataan Cinta Retno pada ku. Serapuh itukah aku?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny
RandomKalau tahu akan jadi seperti ini jadinya, kenapa aku tidak mulai dari awal cerita dalam diam ku? Rasanya menyenangkan hanya bicara dengan hati. Tidak perlu mendengarkan yang lain bicara, cukup dengarkan hati ku. Ku rasa senja juga melakukan yang sa...