Pernikahan

5 0 0
                                    

Kutatap pantulan diriku di depan cermin kamarku. Bunga Melati yang sudah menancap sempurna di atas riasan rambutku. Lipstik merah yang sebenarnya jarang aku pakai, karena aku tidak terlalu suka lipstik berwarna merah. Dan riasan wajahku yang kini terlihat sedikit tebal tapi masih bisa dibilang pantas untukku. Cantik. Aku mengakui kalau diriku saat ini memanglah cantik.

Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Alan. Dengan pangeran yang dikirimkan Tuhan lewat orangtuaku. Lewat persahabatan mereka. Aku melihat sekeliling kamarku, terlihat berantakan oleh barang-barang perias pengantin yang masih sibuk mendandani para pagar ayu yang akan menerima tamu nantinya. Kulirik jam di dinding kamar, masih menunjukkan pukul 7. Artinya masih ada sisa waktu 1 jam lagi untuk aku bersiap-siap, karena akad akan dilaksanakan pukul 8 pagi ini. Tidak ada yang kurang. Batinku.

Jantungku berdetak tak keruan sejak tadi. Bagaimana tidak, rasanya baru saja kemarin aku bermain-main dengan temanku menikmati hari sampai larut malam. Namun saat ini, mungkin akan berbeda karena akan ada Alan, suamiku yang mungkin tidak banyak mengizinkan aku untuk bermain nantinya. Aku tidak tahu perasaan apa yang ada dalam hatiku. Antara suka dan tidak. Sejujurnya masih ada nama Retno yang terlukis dengan indah didalam hatiku, walaupun sudah sedikit berkurang. Karena jujur, Alan begitu cepat mencuri hatiku sehingga aku merasakan benih-benih cinta itu sudah mulai tumbuh dihatiku. Terasa ketika aku dekat dengannya, atau ketika dia menggandengku dengan penuh rasa cinta. Ada rasa bersalah dalam hatiku saat aku kembali mengingat Retno. Bagaimanan perjuangannya untukku, bagaimana selama 1 tahun yang lalu dia memberikan perhatiannya hanya untukku. Tapi kini yang terjadi? Aku malah menikah dengan laki-laki lain. Takdir memang seperti itu ya, suka berkehendak sendiri.

"Dor!" Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku sudah tahu itu sebenarnya karena terlihat dari pantulan cermin di hadapanku ini.

"Jangan mengagetkan aku, kau sudah ketahuan." Ujarku sambil tersenyum lewat cermin untuk orang yang baru mengagetkan ku tadi. Sementara dia seperti biasa, mengerucutkan bibirnya sambil berkacak pinggang lalu dengan gusar berjalan kepinggiran kasur dan duduk disana.

"Ck kau ini." Katanya kesal. Aku membalik tubuhku menghadap orang yang sedang bicara padaku pagi ini, Rina.

"Ada apa sayang, merindukanku?" Tanyaku seolah dia sudah lama sekali tidak berjumpa denganku. Dia tersenyum ketika aku berbalik memandang wajahnya. Aku tidak tahu arti dari senyuman itu, tapi aku rasa dia sedang menatapku dengan intens.

"Kamu cantik sekali Irena, pangling. Aku tidak menyangka lipstik merah juga cocok untuk bibirmu yang tipis itu." Katanya sambil menata beberapa riasan yang mungkin menurutnya belum di tempatnya.

"Kau membuatku takut dengan tersenyum seperti itu."

"Kau kan selalu takut dengan aku. Aku pulang sendirian saja takut." Ujarnya kembali duduk ditempatnya.

"Itu demi kebaikanmu Rina." Jawabku singkat.

"Yaaa... terserah kau saja. Oh iya Iren, aku punya berita gembira untukmu!" Ucapnya girang. Dia tersenyum lebar saat ini, senang sekali rupanya dia. Ada apa?

"Apa itu? Jangan membuatku penasaran!" Ancamku. Dia tersenyum penuh arti. Mengelus perutnya yang terlihat rata.

"Apa... kejutannya kau lapar?" Tebakku, dia mendengus tak terima dengan tuduhanku. Habis apa ? Dia mengelus perutnya, ya aku kira dia lapar.

"Tante Iren belum bisa melihat kehadiranmu sayang, cepat tumbuh besar agar dia tidak meledek mamah lagi." Ujarnya sambil bicara pada perutnya sendiri sambil beberapa kali mengelus perutnya yang masih terlihat rata. Astaga! Aku menutup mulutku tak percaya, ternyata maksud dia adalah dia hamil!

"Oh Tuhan, maafkan aku Rina aku tidak mengerti. Kamu terlalu sulit memberikan teka-tekinya." Ujarku memeluk Rina. Dia kembali memelukku sambil tersenyum.

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang