Hurt

4 1 0
                                    

Semua yang aku fikirkan ternyata tidak semudah pada kenyataannya. Mendapat restu seorang ayah yang sudah jelas-jelas melarang anaknya berhubungan dengan seseorang yang menurutnya tidak baik untuk anaknya, adalah hal tersulit di dunia mungkin? Bagaimana tidak, kau terus mencoba untuk meminta restunya. Tapi bagaikan ada tembok besar yang menghalangi jalan mu dan ayah mu, dan kau tak kuasa hanya untuk sekedar memanjat tembok besar itu. Itulah mungkin sedikit gambaran tentang usahaku yang sangat sulit mendapatkan restu dari ayah.

Seminggu ini, ayah mendiamkan aku. Tidak ada percakapan berarti yang terjadi antara aku dan ayah seminggu terakhir. Saat tahu aku masih berhubungan dengan Retno, ayah langsung tidak mau berbicara dengan ku. Berulang kali aku mencoba memulai pembicaraan dengannya, tapi selalu gagal. Ada saja alasan yang di diberikan saat kami berdua. Seperti sekarang ini, aku menghampiri ayah yang sedang berada di ruang TV. Membawakan teh pahit dan goreng pisang yang sengaja aku buat pagi ini.

Aku meletakkan makanan dan teh hangat nya di atas meja. Belum sempat aku duduk di sampingnya, ayah sudah melipat koran yang tadi dia baca dan ingin segera pergi.

"Ayah aku ingin bicara," kataku menginterupsinya. Ayah memandangku, sarat dengan kemarahan.

"Kumohon ayah, 15 menit saja." Kataku memohon. Sorot mata ayah yang tadi marah kini terlihat lebih melembut, dan pada akhirnya kembali duduk di tempatnya semula.

"Ayah baik?" Tanyaku. Ini masih permulaan. Jujur saja aku bingung ingin mulai dari mana. Membicarakan masalah hubunganku dengan Retno lagi di hadapan ayah, sama saja membangunkan Singa yang sedang tertidur pulas. Kemarahan pasti memuncak jika aku membicarakan tentang Retno.

Ayah masih tetap pada pendiriannya. Dia masih terdiam sambil menatap layar televisi yang hitam. Atau lebih terlihat seperti cermin, yang memantulkan bayangan seisi ruangan di sini, karena tidak di nyalakan.

Aku membuang nafas beratku. Sulit untuk menyelesaikan ini semua. Berat hatiku untuk melawan perintahnya untuk segera meninggalkan Retno. Tapi juga sulit untuk meninggalkan orang yang sudah benar-benar aku cintai. Ini sulit, percayalah.

"Kau membuang waktu 15 menit mu dengan percuma Irena." Kata ayah pada akhirnya. Aku tersenyum, mendengar ayah mulai berbicara lagi dengan ku. Walaupun itu bukan kalimat sayang, yang biasa ayah lontarkan untuk ku.

"Ayah akan pergi jika tidak ada yang ingin di bicarakan." Kata ayah bangkit dari duduk nya.

"Eh, tunggu ayah!" Cegah ku. Ayah kembali menatapku dengan tatapan tidak suka nya. Tapi perlahan dia kembali duduk.

"Ayah, aku yakin kau sudah tau__"

"Aku sudah tahu dari awal. Saat pertama kali aku meminta nya." Potong ayah sebelum aku menyelesaikan kalimat ku. Aku kembali menghela nafas panjang.

"Ayah, aku mohon. Percayalah padaku, dia orang yang baik ayah, tidak seperti apa yang di bicarakan oleh orang-orang." Kataku mulai menjelaskan. Ayah masih diam, masih menatap ke arah depan.

"Yang kau lihat baik, belum tentu baik, dan yang kau lihat buruk, belum tentu buruk."

Jeda.

"Itukan yang selalu ayah ucapkan pada ku ketika aku sedang di hadapkan dengan dua masalah besar, dan aku harus memilih salah satu di antara masalah itu. Seperti menerima tawaran menyanyi, atau bermain teater kemarin." Kataku. Ayah masih pada pendiriannya, dia masih diam.

"Ayah, semua orang punya masa lalu__"

"Ini bukan masa lalu Iren, ini kenyataannya. Ini tentang masa depan mu, tapi kau bermain dengan api di masa depan mu!" Kata ayah kembali memotong perkataan ku.

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang