Ada seorang perempuan yang disudutkan oleh dua pilihan. Dua laki-laki baik yang mengetuk-ngetuk pintu hatinya. Satu, lelaki baik yang ia pun mencintainya, hanya sayang, laki-laki itu belum jua memberi kepastian
.
Dua, adalah juga laki-laki yang baik. Ia belum sepenuhnya cinta, namun melihat kesungguhan laki-laki itu dalam memperjuangkannya, ia terenyuh. Ia sama sekali tak punya alasan untuk menolak keseriusannya.
.
Perempuan itu bingung harus memilih siapa. Laki-laki pertama datang menemui hatinya lebih awal. Sedang laki-laki kedua bertandang menemui orangtuanya lebih dulu.
.
Duhai, ia sama sekali tak kegirangan sebab diperebutkan oleh dua lelaki. Justru ia sedih. Ia sedih karena tak bisa memilih.
.
Ia pun bertanya pada ibundanya, dan sang bunda menjawab:
.
"Anakku, bagi seorang perempuan, hal pertama yang harus ditanyakan bukan seberapa besar perasaan, melainkan, sebarapa besar ketulusan. Bukankah banyak yang jatuh cinta, tapi sedikit yang memberi ketulusan?"
.
"Jadi siapa yang harus kupilih, Bun?"
.
"Yang lebih dulu datang pada Bapakmu, Nak. Yang bukan hanya cinta, namun berani. Yang bukan sekedar niat, tapi komitmen. "
.
"Jadi aku harus memilih yang kedua?"
.
Sang Bunda tersenyum. Mengangguk.
.
Ah, lagi-lagi perempuan itu heran. Akalnya memang setuju dengan pendapat sang ibu, tapi hatinya? Entahlah, diam-diam ia masih berharap, yang datang adalah lelaki pertama. Lelaki yang dicintainya. Tapi kapan?
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Seorang Muslim
SpiritualDiam. Bisu. Itulah yang bisa kulakukan. . "Maaf ya. Aku memutuskan untuk bersamanya," katamu kemudian. . Duhai ombak di sana. Kumohon hadirkan tsunami saat ini juga. Biar kubandingkan, apakah amukannya lebih dahsyat dari apa yang sedang bergolak...