06 - Enam

182K 11.1K 189
                                    

Cinta sepihak itu kejam. Satu pihak berjuang sendiri, mengejar seperti orang bodoh. Sedangkan yang diperjuangkan, mengabaikan sesuka hatinya.

இஇஇஇ

Milan berdiri di ambang pintu masuk warung Bi asri, setelah menemukan si pemilik warung yang sedang menyeduh kopi, cowok itu sempat berdehem kecil sehingga membuat Bi asri menyadari keberadaanya, “Nitip mobil ya Bi,” setelah menyelesaikan kalimatnya, Milan langsung berjalan santai menuju pagar belakang sekolah yang memang tidak jauh dari warung Bi Asri, tempat cowok itu baru saja menitipkan mobilnya.

“Dasar bocah badung!” Bi Asri hanya bisa geleng-geleng kepala melihat langganannya melenggang pergi.

Telat memang bukan sebuah hal besar bagi Milan, dia sudah terlalu sering melakukannya, kecuali di hari Senin sih, karena tipe hukuman yang diberlakukan di hari itu adalah mengepel koridor.

Hap! Milan melompat turun dari atas pagar sekolah. Memanjat pagar bukan lagi sesuatu yang sulit bagi yang sudah terbiasa melakukannya, seperti Milan.

Setelah membetulkan letak tasnya, cowok itu berjalan santai menuju kelasnya. Koridor-koridor sekolah yang dia lewati terlihat sepi, wajar karena sekarang memang sudah jam delapan pagi dan itu berarti jam belajar-mengajar sedang berlangsung.

Sebenarnya pagi ini Milan masih merasa sedikit pusing karena pengaruh alkohol yang mungkin belum hilang sepenuhnya, juga karena kurang tidur. Pulang jam satu malam, dan Milan langsung ambruk di kasurnya. Kalau saja semalam Audrey tidak menambah kekesalan Milan, dia pasti tidak akan minum terlalu banyak sehingga baru bisa bangun pukul setengah delapan pagi tadi. Terkadang Milan suka lupa kalau dia adalah seorang siswa SMA yang masih punya jadwal berangkat sekolah pagi-pagi.

Milan yang sudah sampai di depan kelasnya langsung masuk tanpa mengucapkan salam atau hal lain yang menggambarkan sopan santun. Semua teman sekelasnya langsung fokus menatap Milan yang masuk dengan kurang ajarnya.

“Datang telat dan main masuk saja? Kamu pikir kamu itu siapa?” Bu Diah, guru ketertiban yang juga mengajar sebagai guru sejarah di kelas XI-IPS2 sudah berdiri sambil berkacak pinggang menatap Milan.

Merasa diajak berbicara, Milan berbalik malas dan balas menatap wanita paruh baya yang sedang memelototinya, “Kamu pikir kamu siapa main nyelonong seperti itu?” ulang Bu Diah masih dengan nada gusarnya.

“Saya Milan Bu,” dengan nada santai plus ekspresi datar, Milan menjawab pertanyaan Bu Diah.

Seisi kelas langsung terbahak, sedangkan Bu Diah sendiri wajahnya merah padam menahan emosi, “Milan kamu itu sadar nggak sih sedang berbicara dengan siapa? Kamu itu sudah telat, kurang ajar lagi!” sentak wanita itu.

“Terus?” cara Milan menaikkan sebelah alisnya benar-benar membuat darah Bu Diah naik sampai ke ubun-ubun. Sekarang Bu Diah sudah mengacungkan jari telunjuknya pada Milan, seperti siap memberikan kutukan pada murid kurang ajarnya itu, “Milan!!! Sekarang juga kamu—“

“Lari keliling lapangan kan?” dengan cepat Milan memotong ucapan gurunya.

“Kok kamu tahu?” bahkan Bu Diah sempat melongo karena Milan dapat menebak apa yang baru saja ingin dikatakannya.

“Hukuman yang klise,” Milan langsung melempar tasnya pada Tristan. Sedetik kemudian, remaja berpenampilan urakan itu keluar lagi dari kelas, yah untuk melaksanakan hukumannya. Menyesal? Tentu tidak, ini justru menjadi kesempatan bagi Milan untuk tidak mengikuti pelajaran sejarah yang membosankan.

MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang