42 - Empatpuluh dua

140K 7.7K 136
                                    

Tak usah malu mengakui cinta. Selama kamu masih bisa, selama yang di cinta masih ada. Jangan sampai menyesal nantinya.

இஇஇஇ

Milan masih menatapi layar ponselnya yang menampilkan kontak Milda, dari tadi cowok itu ragu-ragu untuk menekan tombol call. Frustrasi, Milan melempar ponselnya asal, untung saja benda pipih itu tidak jatuh dari kasur.

Sambil menghela napas, Milan memejamkan matanya, “Pa, Milan harus gimana?” sekelebat bayangan Dylan muncul begitu saja di benak Milan, ah, rindu itu datang lagi.

Nasihat-nasihat dari ketiga sahabatnya, juga dari Damara, semua itu benar-benar memenuhi pikiran Milan beberapa hari ini. Ada satu sisi dalam diri cowok itu yang ingin mencoba memberi kesempatan untuk Mamanya, tapi sisi yang lain memberatkan, sisi itu masih tidak bisa lepas dari belenggu perasaan kecewa.

Bangun dari ranjangnya, Milan berjalan gontai menuju kulkas kecil di sudut kamar, cowok itu mengambil sebatang silverqueen chunkybar yang ada di rak paling bawah, sengaja ditaruh di sana agar tidak terlihat oleh mata lapar Ozy dan Sean.

Di pinggiran ranjang, Milan tersenyum tipis sambil meneliti sebatang coklat di tangannya, “Udah berapa bulan coklat dari Ara gue taroh di kulkas?”

Melihat buku album kecil miliknya tergeletak di atas nakas, Milan mengarahkan salah satu tangannya untuk mengambil benda tersebut, dan langsung membuka lembar terakhir buku albumnya, di sana tertempel surat kecil yang Damara selipkan di coklat yang saat ini dirinya pegang, siapa yang menempelkan? Tentu saja Milan.

Kak Milan suka coklat gak? Semoga suka ya? Kalo bisa coklat dari Ara dimakan dong Kak, hehe...

Walaupun sudah berkali-kali membaca pesan singkat tersebut, Milan masih saja tidak bisa menahan geli di perutnya. Kata-kata yang jauh dari kategori puitis itu sangat menggambarkan keluguan Damara.

Ah, Damara. Milan diam-diam tersenyum karena sekarang bayangan gadis menggemaskan itu sedang berlarian di otaknya. Sebeginikah efek jatuh cinta? Bahkan dengan memikirkan Damara saja, semua beban yang mengganggu Milan tiba-tiba menguap. Suasana hati Milan yang sempat mendung pun langsung cerah. Tiba-tiba Milan kangen pada gadisnya, di hari Minggu ini Milan belum bertemu dengan Damara sama sekali, tadi hanya sempat bertukar pesan saja.

“Untung aja waktu itu Ara mau dengerin penjelasan gue, dan mau kasih gue kesem...” Milan tidak menyambung gumamannya. Dia meneguk ludah, merasa tersindir dengan kalimatnya sendiri.

Lamunan Milan buyar saat tidak sengaja buku album yang dipegangnya terjatuh ke lantai. Cowok itu membungkuk hendak mengambil albumnya, Milan membatu saat melihat foto keluarga yang tampil karena ketidaksengajaan. Lagi-lagi dia meneguk ludah, sejujurnya Milan tidak hanya rindu pada Papanya, tapi rindu pada keluarga kecilnya yang dulu selalu bahagia.

Setelah mengambil buku album tersebut, Milan meletakkannya ke atas nakas bersama dengan coklat yang sedari tadi dia pegang. Sambil menghela napas, cowok itu mengusap wajahnya sendiri, “Apa gue emang harus berhenti keras kepala dan mau dengerin penjelasan Mama?”

Memikirkan bagaimana hubungannya dengan Damara berjalan indah setelah gadis yang sempat menjauh karena kecewa itu mau mendengarkan penjelasannya, Milan seperti mendapatkan sebuah jawaban, mendapat sebuah contoh nyata yang bisa dia jadikan pelajaran untuk menyikapi kerenggangan hubungan antara dirinya dan Milda.

MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang