31 - Tigapuluh satu

146K 8.5K 194
                                    

Jangan singgah kalau tak ingin tinggal. Aku tipe yang sulit melepaskan.

இஇஇஇ

Damara menatap bingung ke dalam lokernya, sedetik kemudian tangan gadis itu bergerak meraih sebuah benda yang membuatnya bingung, “Coklat?” gumam Damara sambil meneliti sebatang silverqueen chunkybar yang pagi ini tiba-tiba muncul di lokernya.

Dengan satu gerakan, jari-jari lentik Damara menarik pita pink yang tadinya menjadi hiasan di salah satu ujung coklat tersebut, membuat sepucuk surat kecil yang di dibentuk gulungan terjatuh ke lantai, saat mengamati tadi, Damara bahkan tidak sadar ada surat yang terselip di coklat misterius itu.

Sambil menyelipkan anak-anak rambut yang mengganggu, Damara membungkuk untuk mengambil kertas berwarna biru laut yang saat ini tergeletak tidak berdaya di lantai, setelah surat tersebut sudah berada di genggamannya, Damara segera menegakkan badan dan langsung membaca sederet kalimat yang tampak ditulis tangan menggunakan spidol hitam.

Bukannya takut buat ngasih cokelat ini langsung, cuman takut senyum lo bakal ilang kalo liat gue... Makan, gue baca di internet, katanya coklat bisa naikin mood.

Dalam hati, Damara membaca tulisan tangan yang tidak bisa dibilang rapi itu, kentara sekali itu tulisan tangan dari orang yang tidak biasa menulis. Tak ada nama yang tercantum di sana, atau sekedar inisial juga tidak ada. Tapi meskipun begitu, Damara jelas tahu siapa orang yang mengirimkan sebatang coklat yang sekarang masih digenggamnya.

“Kak Milan...” gadis itu menghela napas. Munafik bila Damara bilang dirinya tidak merasa senang dengan datangnya coklat dan surat manis itu. Bahkan masih sulit bagi Damara untuk mempercayai kalau Milan bisa melakukan hal semanis ini, cowok dingin itu? Ah, beberapa hari ini hidup Damara dipenuhi keajaiban. Dan sayangnya, semua keajaiban itu harus Damara lewatkan.

Melemparkan memori ke hari kemarin, tak ada yang tahu apa yang Damara rasakan setelah membuat sekotak nasi goreng yang Milan bawakan terbuang sia-sia. Di dalam salah satu bilik kamar mandi, gadis itu menghabiskan waktu istirahat dengan menangis sambil menggigit bibir, menjaga agar tak ada satu pun orang yang mendengar isakannya. Ada setengah hati Damara yang mengutuk dirinya sendiri, sementara, setengah yang lain memuji, setidaknya dirinya tidak menjadi si bodoh yang mudah luluh oleh sebuah kata maaf. Satu kata: dilema.

Menutup loker, Damara tak lupa menguncinya, entah apa yang sudah dilakukan Milan sehingga bisa memasukkan sebatang coklat ke loker Damara yang selalu terkunci rapat. Sempat membenarkan letak ranselnya, sedetik kemudian Damara beranjak, hendak menuju kelas tentunya.

Coklat pemberian Milan masih Damara genggam, sampai tiba-tiba, dari kejauhan Damara dapat menangkap siluet punggung seseorang yang sedang menyembunyikan diri di balik tembok, orang yang sangat Damara hafal tentunya. Siapa lagi kalau bukan si pengirim coklat.

Bibir Damara bergetar, tanpa sadar kedua tangan Damara terkepal kuat, bahkan sampai membuat coklat yang sedang dipegangnya patah. Satu gerakan, Damara memutar arah, langkah kecilnya terlihat cepat, dan tepat dihadapan sebuah tong sampah berwarna kuning, Damara berhenti untuk membuang coklat sekaligus surat pemberian Milan.

Seperti ada ratusan jarum menghujani hati Damara saat melihat kedua benda tersebut sudah membaur dengan berbagai sampah lain, tapi jelas tak mungkin bagi Damara untuk mengarahkan tangannya supaya kembali mengambil coklat dan surat tersebut. Egonya terlalu tinggi untuk melakukan hal itu.
Damara buru-buru mengusap pipinya saat sebulir air mata bergerak turun, dia tidak ingin lemah. Tak ada satu kata pun yang terucap, Damara segera beranjak, kali ini dengan berlari.

Damara tahu mencintai Milan tak pernah mudah dan selalu menyisakan luka. Tapi, tidak ada yang pernah bilang kalau untuk sekedar membenci pun bisa sesulit dan semenyakitkan ini. Setidaknya sekarang Damara tahu itu.

MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang