e m p a t

1.5K 325 17
                                    

Mata gue jelalatan ngelirik Dean yang ada di serong depan kanan gue. Dia duduk bareng guru sejarah itu, membantu mengoreksi hasil ulangan sejarah. Dia pinter sejarah atau cuma disuruh sama guru doang, ya?

Tatapan gue beralih pada kertas ulangan. Remedial, tepatnya. Kesel, kenapa dari sekian ratus murid, yang remedial cuma gue dan dua murid lainnya yang gue gak kenal. Kenapa Manda gak ikutan? Kan, gue bingung mau ngapain di kelas ini selain ngisi soal. Mending tau jawabannya apa. Lah, ini enggak.

Gue kembali untuk memerhatikan Dean yang serius tanpa ekspresi duduk di sana. Kayaknya dia udah mulai capek dan jengah gitu. Lagian ya, itu guru udah gede juga, manja banget nyuruh-nyuruh. Astaga, maafin omongan gue tadi.

Helaan napas gue terdengar. Mungkin guru itu juga mendengarnya tapi nggak begitu peduli. Gue agak bersyukur juga karena remedialnya soal pilihan ganda aja. Nggak ada esai. Karena udah bosen akut. Akhirnya gue melakukan ritual cap-cip-cup sesuai firasat. Bodo amatlah, udah nggak tau lagi jawabannya.

Setelah selesai mengisi, gue bangkit dari kursi gue menuju meja guru sejarah lalu menyerahkan lembar jawaban yang telah diisi. "Udah ya, Bu. Saya boleh pulang?" tanya gue sambil melirik jam tangan. Nyebelin banget, disuruh remedial setelah pulang sekolah.

Bu Tini mengambil lembar jawaban gue lalu menyerahkannya pada Dean. Beliau membenarkan letak posisi kacamatanya. "Duduk di samping Fadean," suruhnya. Lho, gue mau dinikahin apa gimana ini?

"Bantu periksa ulangan kelas 10 ya." Bu Tini melanjutkan omongannya. Yaduh. "Tinggal satu kelas lagi." Tangannya menyerahkan setumpuk kertas. Lantas akhirnya gue menerima tumpukan kertas itu dengan pasrah lalu duduk di sebelah Dean.

Percuma juga ada kecengan. Nggak membuat gue jadi semangat bantuin ngoreksi ulangan ini. Adanya keberadaan dia doang, nggak membuat tumpukan kertas ini terkoreksi dengan sendirinya. Apalagi kalo udah capek, persetan segalanya. Gue cuman mau pulang, tidur di kamar.

Gue menghempaskan tubuh gue di kursi sebelah Dean. Mulut udah berlipat aja, seperti tanda nggak mau diganggu. Tapi sebuah suara menginterupsi telinga.

"Gue udah selesai. Lo butuh bantuan?"

Kepala gue menoleh ke kanan, tempat Dean duduk. "Wah, makasih banyak ya!" seru gue tertahan. Nah, yang gini-gini bikin perasaan kesel jadi hilang.

Yah, lumayan. Ngobrol dikit sama Dean, sekaligus dibantu. Jadi seneng, kan.

Ada hikmah dibalik remedial.

Fall Over VainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang