"Bawa buku paketnya, nggak, Man?"
Manda menjawab pertanyaan yang gue lontarkan dengan gelengan. Lalu kami dengan bersamaan menghembuskan napas panjang.
Jangan harap tas gue akan berat saat dibawa ke sekolah. Serius. Gue nggak pernah membawa buku paket. Hanya membawa buku tulis dan LKS. Buku paket berat banget, sumpah. Gue nggak mau tambah cebol lagi. Lagian, bisa minjem ke temen sebangku. Tapi sayangnya, kali ini Manda salah bawa buku. Katanya, salah liat jadwal.
Untung nggak ada tugas. Masalahnya, seharusnya dia bawa buku jadwal hari Kamis, yang seharusnya bawa buku jadwal hari Rabu.
"Gimana dong, Man? Tapi kayaknya, banyak yang nggak bawa buku juga, ya? Lagian, sejak kapan pelajaran seni belajar dari buku paket? Biasanya juga disuruh menggambar doang, sama Pak Agung." Gue malah mendumel. Aneh-ameh aja, guru gue deh.
"Pak, kalau nggak bawa buku paket, gimana?" tanya dari salah satu anak kelas. Nah, bagus. Ada juga yang nanya.
Pak Agung tampak berpikir (dia bukan tipe orang yang doyan marah-marah, justru santai banget), ia lalu membuka mulutnya. "Coba pinjem ke kelas lain yang ada pelajaran saya juga. Seinget saya, IPS 2 juga ada pelajaran saya hari ini."
Buru-buru hampir sebagian anak kelas gue berhamburan keluar kelas, begitu juga dengan Manda dan gue. Ada yang ke kantin, ada yang langsung ke kelas IPS 2. Di tengah berjalan menuju kelas IPS 2, gue baru aja teringat sesuatu.
"Eh, Drey, coba lo yang bilang deh. Lo, kan, kenal Fadean. Siapa tau dia bawa buku paket." Manda berbicara sambil menatap isi kelas IPS 2 yang sedang berisik karena nggak ada guru yang mengajar. Ini maksud gue. Gue teringat kalau IPS 2 itu bersebelahan dengan kelas gue, sekaligus jadi kelasnya Dean.
Gue mendengus keras lalu berjalan masuk ke dalam kelas IPS 2, berjalan mendekat ke arah Dean yang sedang tertawa bersama teman-temannya. "Dean, mau pinjem buku paket seni dong. Lo bawa, nggak?" ucap gue langsung saat matanya menatap kehadiran gue.
Dean mengangguk lalu berjalan menuju mejanya dan mencari buku paket yang gue minta. Gue menghampirinya. "Lagi jam kosong, ya?" tanya gue untuk membuka topik.
"Nggak, ah. Lagi jam sembilan." Dean memberikan cengirannya seraya menyerahkan buku paket seni. "Iya, jam kosong."
Gue memutar kedua bola mata sambil mengambil buku paket seni. "Garing lo," ucap gue. "Eh, omong-omong, kemaren nggak keliatan. Bolos yak?"
"Nggak keliatan di mana?" tanya Dean.
"Di lapangan." Kemarin, gue ke kantin, dan nggak sengaja ngelirik lapangan. Ternyata, Dean nggak ikut main.
"Oh, itu. Gue lagi dikasih pengarahan di ruang BK." Dean menjawab.
"Lho, ngapain di ruang BK?" tanya gue kaget.
"Gue ikut olimpiade," jawabnya lagi lalu tertawa setelahnya. "Iseng aja. Enak juga, kan, bolos satu-dua mata pelajaran."
Gue ber-oh panjang sambil mengangguk-anggukan kepala. "Iseng-iseng berhadiah. Siapa tau, kan. Ya udah, gue duluan, ya. Semangat olimpiadenya!" Lalu gue menghampiri Manda yang sedari tadi menunggu di daun pintu kelas.
Terlihat Manda mengerucutkan bibirnya. Gue menghela napas, "Perasaan, gue nggak lama deh, Man. O iya, anak kelas kita ada yang ikut olimpiade, nggak sih?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Fall Over Vain
Historia CortaDia sosok yang nyata, namun selalu menjadi bagian dari imaji yang kubuat. Aduh, dramatisnya sih begitu. Padahal mah, ini hanya tentang kehidupan seorang perempuan di SMA yang awalnya pengen ngerasain gimana rasanya pacaran tapi gak ada yang deketin...