t u j u h

1.4K 319 36
                                    

Gue melipat baju seragam putih abu-abu lalu menyimpannya dalam tote bag. "Udah selesai, Man." Gue bersuara karena sedari tadi Manda sedang menutup badanku dengan rok seragamnya. Iya, gue baru aja berganti baju di pojok kelas yang hanya ditutupi oleh meja, kursi, tas dan rok Manda. Males banget harus ganti di kamar mandi, sumpek. Untungnya anak cowok udah selesai ganti bajunya duluan, makanya gue bisa berganti di kelas. Bareng Manda juga sih.

Suara pluit ditiup dari luar kelas terdengar sangat jelas. Guru olahraga yang satu ini memang agak aneh. Dia nggak bakal berteriak menyuruh muridnya berkumpul ke lapangan dengan pita suaranya. Cukup meniup pluit, muridnya akan tau. Dikira kambing kali dah.

Buru-buru Manda dan gue keluar dari kelas untuk berkumpul di lapangan. Sumpah ya, olahraga saat jam terik begini tuh, belom gerak aja udah keluar keringet duluan. Seraya berjalan menuju lapangan bersama Manda, gue melihat anak laki-laki sedang bermain bola saat waktu pelajaran.

Awalnya, gue nggak begitu peduli dengan keberadaan kumpulan laki-laki yang lagi asik main bola. Nah, kalau ada Dean, gue jadi peduli. Beruntung, lapangan luas, jadi kelas gue akan berolahraga di bagian lapangan yang lain. Katanya, mau olahraga basket.

Halah, olahraga apa pun, kayaknya gue nggak bisa deh.

"Man, sekelompok sama siapa?" tanya gue setelah Pak Toyo—guru olahraga—membagikan kelompok sesuai yang dia inginkan. Manda menujuk sekumpulan perempuan di belakangnya. Gue hanya balas mengangguk. Pluit telah dibunyikan lagi, pasti kelompok perempuan dulu yang bermain. Biasanya sih, begitu selama gue diajar sama guru olahraga yang doyan pluit.

"Mainnya yang bener. Bapak mau kasih nilai soalnya," ujar Pak Toyo lalu menatap buku absen kelas. "Kelompok cewek, satu sama tiga."

Gue menghela napas panjang lalu mulai bersiap di lapangan. Gue ada di kelompok tiga, omong-omong. "Nih, Drey, lo lempar duluan." Gina, salah satu teman sekelas, melemparkan bola oranye itu ke arah gue dan ditangkap malas.

Permainan basket yang nggak jelas itu akhirnya dimulai. Gue nggak ngerti lagi, kenapa anak cewek main bola kebanyakan berkerubung gitu. Kalau gue sih, dari tadi berdiri aja di bawah pohon jambu nungguin ada yang ngelempar bola ke gue. Lagi pula, yang sedang bermain bola basket pun malah lebih banyak menertawakan hal yang nggak lucu dari pada bermain basket.

Sekonyong-konyong, bola hitam-putih menggelinding ke arah di mana gue berpijak. Baru aja mau menendang bola hitam-putih, eh, dateng bola warna oranye yang dari tadi gue tunggu melayang kena bahu dan mengakibatkan gue jatoh telentang ke belakang.

"SETAN!!!"

Gue berteriak marah lalu meringis sakit. Bahu dan bokong rasanya perih-perih nyes gimana gitu. Sebuah uluran tangan muncul di hadapan gue. Saat melihat wajahnya... aduh, rasanya mau menghela napas panjang aja karena ngeliat Dean lagi.

Gue mendengus kesel. "Kenapa sih, harus lo lagi tiap gue sial?" tanya gue lalu berusaha bangkit sendiri. Walaupun badan gue jatoh, harga diri gue nggak bakal jatoh. Yah, tapi kayaknya harga diri gue udah jatoh sejak ketemu sama Dean.

Dean malah tertawa pelan. "Lo nggak apa-apa?" tanyanya.

Gue melirik sinis. "Mikir dong. Ya, sakitlah! Nggak usah ketawa. Nggak pernah ngerasain malu apa, ya. Mending nggak usah deket-deket gue deh. Sial mulu hidup gue, tau, nggak!?" omelan keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Nggak, sebenernya, gue salah tingkah aja. Cuman, dengan cara yang malu-maluin.

Dean malah tertawa lagi, "Gue mau ngambil bola kok. Bolanya aja yang kebetulan ada di deket lo."

Rahang gue rasanya mengeras, kepala agak menduduk. "Terus tadi, ngapain coba ngulurin tangan!?"

"Gue punya hati nurani. Sesama manusia ya, tolong-menolong. Lucu dah," jawabnya sambil terkekeh.

"Nggak usah pake ketawa, gue bilang! Kalau lo ketawa, gue tambah malu!" seru gue lalu pergi meninggalkan Dean. Wajah gue kini memberengut masam. Antara kesel, malu, semuanya campuraduk.

"Lain kali, bales chat gue ya, Drey! Gue kepikiran sama keadaan lo yang suka jatoh." Dean berseru sedikit.

Gue menolehkan kepala sebentar. "Yeee! Lo pikir, lo siapa? Segala harus bales." Kan, gue malu kalau dibahas lagi.

"Drey, masih sakit? Sori ya," sahut suara siapa gue nggak peduli. Gue masih kepikiran dengan kejadian-kejadian sial yang menimpa gue kala tiap bertemu Dean. Ditambah, itu cowok doyan banget ketawa. Nggak waras deh, kayaknya. Tapi manis sih.

Setelah duduk di pinggir lapangan. Gue melirik ke arah Dean yang kini tengah kembali bermain bola. Nggak jadi suka sama dia deh. Belom jadian aja, udah kena sial mulu. Kalau udah jadian, bukan jatoh lagi. Nyungsep ke inti bumi kali.

Dih, kok, keliatannya gue kayak ngarep jadian gitu sih. Nggak ngarep kok, itu cuma perandaian aja.

Fall Over VainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang