l i m a

1.5K 341 41
                                    

Masih berkutat dengan kumpulan kertas yang harus dikoreksi. Walaupun tersisa lima lagi. Gue akhirnya memilih untuk merapikan alat tulis. Lagi pula, ada yang membantu ngoreksi.

Jangan berpikir gue anak yang nggak tau diri. Yang bantuin bukan cuman Dean. Ada dua orang yang ikut remedial tadi yang juga pada akhirnya disuruh guru sejarah itu untuk membantu mengoreksi.

Setelah semua beres, gue bangkit dari kursi lalu bersalaman dengan guru sejarah itu dan bergegas keluar dari ruang kelas. Kebelet boker. Dari tadi gue udah nahan-nahan. Gue baru inget kemarin gue belom nyetor.

Sialnya, karena sekolah gue ini berada di komplek perumahan (yang sayangnya bukan komplek perumahan gue), jadi mengharuskan untuk jalan kaki sampe ke depan komplek supaya bisa naik angkutan umum. Jaraknya sekitar... berapa ya? 50 meter?

Omong-omong, 50 meter itu seberapa panjang, ya?

Ya udah, intinya gue lagi jalan kaki tapi sambil nahan-nahan supaya yang mau dikeluarin tiba-tiba nggak nongol bikin kaget. Nggak akan pernah mau gue boker di mana pun kecuali di rumah.

Dari arah belakang, terdengar suara motor mendekat ke arah gue dan membuat kepala gue menoleh untuk mengetahui. Dean lagi. Kenapa sih, dia selalu muncul di waktu yang nggak tepat?

"Pulang, Drey?" tanyanya sambil berjalan pelan dengan menggas motornya. Helmnya dilepas entah supaya apa. Mau pamer senyum manis kali, ya?

Gue hanya mengangguk sebagai jawaban. Tolong, gue rasanya nggak kuat untuk menahan semua ini. Kalo nahan perasaan masih kuat. Idih, najis banget omongannya.

"Naik angkot?"

Lagi, gue hanya membalas dengan anggukan.

"Ya udah, gue duluan ya!" ucapnya lalu kembali memakai helmnya. Ya ampun, jangan harap deh, kecengan mau ngasih tebengan. Baru juga kenal tadi sewaktu upacara.

Akhirnya gue memutuskan untuk bersuara, nanti disangka gue jutek. "Iya..." jawab gue, namun sepertinya gue mendengar suara lain. Suara dari tubuh gue juga. Gue yakin itu. Hanya aja, suaranya itu dari lubang feses. Setelah membelalakkan mata kaget, dengan cepat gue menutup mata.

"Gue yang pergi atau lo?" tanya Dean seperti menahan tawa. Gue gak akan mau melihat ekspresinya. Mendengar suaranya aja udah malu parah.

"Gue!" Dengan teriakan menjawab pertanyaan Dean tadi lalu gue berjalan tanpa melihat. Mata masih tertutup kuat-kuat. Gue cuma bisa komat-kamit, "Hilang dalam sekejap, hilang dalam sekejap, hilang dalam sekejap...."

Baru beberapa langkah, gue malah masuk ke got. Iya, makanya kalo jalan, mata juga harus dipake. Biar nggak kayak gue. Otak juga dipake ya. Mata untuk melihat, kaki untuk berjalan, otak untuk berpikir kenapa gue menutup mata sambil jalan.

"Drey! Lo gak apa-apa?"

"UDAH LO PERGI AJA! GUE MALU!"

Kok, rasanya gue mau nangis aja, ya?

•••
a.n: hai, sengaja gak banyak author's note tiap babnya biar enak bacanya. sejauh ini (padahal baru sampe bab 5), gimana pandangan kalian terhadap alur dan karakternya? HEHEHE. makasih ya yang udah baca, vote dan komen.

sayang Dean.
eh.
sayang kalian.

Fall Over VainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang