1

5.8K 88 2
                                    

"Baju hangat sudah,syal, topi rajut, kaus tangan tebal sudah.....,"
tangan Nana – demikian gadis itu biasa dipanggil – cekatan melipat dan memasukkan barang-barang itu ke dalam tas punggungnya.

Diperiksanya kembali peralatan mendaki gunung yang teronggok rapi di sebelah kakinya.

Senyumnya terkembang. Sepatu gunungnya tertata rapi di sisi beranda, kaus kaki tebal warna hitam menyembul di ujungnya.

Semangatnya meluap-luap. Sudah terlalu lama ia merindukan aroma rumput basah, bunga-bunga cemara kering yang berserak di sepanjang jalur pendakian dan hamparan bunga edelweiss yang bermekaran di puncak gunung. Tentu saja.

Pemandangan indah itu selalu saja membangkitkan semangatnya untuk kembali mendaki gunung.
Lagi lagi dan lagi.

Puncak gunung Merapi seolah menyimpan magnet yang menyeretnya untuk sesering mungkin mengunjunginya.

**************

Nana menghapus air mata yang mengalir di pipinya yang tirus. Selalu begitu setiap kali ingatannya melayang ke masa dua tahun yang lalu.

Masa sebelum kecelakaan itu merenggut semua keceriaan yang dipunyainya dan meninggalkan duka mendalam.

Dari posisi duduknya di jendela lantai dua rumahnya yang asri, Nana memperhatikan sepasang suami istri setengah baya yang sedang duduk di kursi ayunan.

Dari penuturan Yu Mi – tetangga yang biasa membantu ibunya beberes di dapur dan membersihkan rumah, mereka berdua merupakan tetangga baru.

Bu Dagdo masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda. Perawakannya mungil, rambutnya dipotong pendek yang membuatnya kelihatan segar.

Tubuhnya langsing dengan kulit tubuhnya yang terawat baik. Yang membuat Nana hampir-hampir tak berkedip adalah sorot kebahagiaan yang nampak di matanya setiap kali Bu Dagdo tertawa.

Tawa yang riang, tulus, tak dibuat-buat. Menandakan kebahagiaan yang melingkupi kesehariannya.

Nana suka memandangi cara Pak Dagdo menunjukkan cinta dan kasih sayangnya kepada isterinya.

Setiap pagi sekitar jam 7an, Pak Dagdo membimbing isterinya, membantunya duduk nyaman di kursi ayun.

Disisipkannya bantal kursi yang sudah disiapkannya ke balik punggungnya.

Setelah memastikan posisi duduknya sudah enak, ia lalu beranjak ke dapur.

Dibawanya dua gelas coklat yang masih mengepulkan uapnya ditambah sepiring camilan dalam nampan bulat dan diletakkannya di meja pendek di sebelah ayunan.

"Sayang, ini coklatnya. Pisang goreng menteganya masih hangat.......," seru Pak Dagdo.

Tangannya menyorongkan pisang itu ke dekat bibir isterinya.

Bu Dagdo menyambut hangat, tawa kecilnya menunjukkan kegembiraannya.

Nana menahan nafasnya saat dilihatnya Pak Dagdo mengecup mesra kening isterinya.

Ia mengelus ujung lututnya yang tertutup selimut bergaris biru putih. Perih di hatinya kembali menyeruak.

Disusutnya air matanya dengan ujung selimutnya, diambilnya nafas sepenuh paru-parunya. Ia berharap kelegaan melingkupi hatinya yang terasa tersayat-sayat.

Ibunya berdiri tegak di pintu kamar, mencoba untuk tak ikut larut dalam kesedihan Nana.


Tbc

NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang