18

377 29 0
                                    

Andre masih menyimpan nomor telepon Nana. Suatu hari, ia menghubungi nomor yang masih diingatnya di luar kepala itu.

"Hallo? Selamat siang. Ini siapa?" Nana menjawab telepon yang berdering-dering itu dengan keingintahuan yang luar biasa. Selama ini ia terbiasa mengabaikan nomor telepon yang tak tercatat di daftar kontak hapenya.

"Nana.....ini...Andre...," sahutan di seberang telepon membuatnya terlonjak. Kaget.

"Andre? Kemana saja selama ini? Kenapa kau pindah rumah tanpa memberi tahu kami? Kenapa juga kau harus berhenti bekerja?" pertanyaan Nana lebih mirip berondongan peluru dari senapan otomatis yang ditembakkan secara asal.

"Maafkan aku Nana....bukan maksudku untuk menghilang begitu saja....," jawaban itu sedikit meluluhkan sakit hati Nana.

Didengarkannya semua alasan yang dikemukakan Andre dengan sabar. Ia tak mengusik sedikitpun kata-kata Andre yang panjang lebar itu. Dibiarkannya Andre menumpahkan segala persoalan dan cerita yang dipendamnya sekian lama.
Sepercik harapan kembali membara di relung hati Mardiana. Ia akan bisa bertemu lagi dengan Raina, anak kandungnya sendiri.

Seharian ini Mardiana resah menunggu Dagdo pulang dari kantor. Ia tak sabar memberitahukan berita bahagia ini pada suaminya. Ia tahu, Dagdo tak pernah lelah mencari keberadaan Andre dan keluarganya selama ini. Nana berharap, suaminya tak mencari-cari lagi.

"Ini minumnya mas," Nana meletakkan cangkir kopi itu di hadapan Widagdo yang sibuk mengipas-ngipas tubuhnya yang bermandi keringat.

Ia memperhatikan raut wajah suaminya. Tak ada tanda-tanda kegusaran di sana. Wajahnya teduh, sesekali ia tersenyum saat membaca berita di harian lokal yang dibacanya.

"Mas....boleh aku ngomong sesuatu?" Nana menyentuh lengan suaminya.

"Ada apa? Kok sepertinya penting sekali? Ada yang mengganggu pikiranmu?" Dagdo seketika meletakkan koran di sampingnya. Ia menggenggam tangan Nana, menunggu isterinya mengatakan maksudnya.

"Aku sudah ketemu sama Andre....,"

"Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?"

"Tidak....tidak....bukan begitu. Ia...ia tadi meneleponku....," jawab Nana takut-takut.

"Apa kau sudah dapatkan alamat rumahnya? Apa katanya? Apa Nana mengalami sesuatu?" berondong Widagdo. Ia justru lebih khawatir dibanding Nana, ibu kandung Raina.

"Andre menceritakan semuanya padaku. Dari A sampai Z, lengkap tak ada yang terlewatkan. Menurut aku, yang penting Nana dirawat dengan kasih sayang berlimpah, mendapatkan pendidikan yang baik......," urai Mardiana.

"Aku sudah cukup senang mendengar Nana baik-baik saja. Ia kini sudah kuliah di perguruan tinggi ternama di Jogja. Kegiatannya seabreg, dari penelitian hingga mendaki gunung...."

"Apa? Mendaki gunung? Apa Andre mengijinkan Nana mendaki?" Widagdo menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingat bagaimana ia dan Andre dahulu menjadi singa gunung semasa duduk di bangku kuliah. Siapa sangka, kegemaran itu menurun pula kepada Nana.

Tbc

NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang