Di belahan kota yang lain .......
"Nana......sudahlah. Sejak awal permasalahan ini, kau sudah salah melangkah. Ups, maaf. Bukan maksudku menyalahkanmu......," Widagdo memandang lembut perempuan yang terisak di hadapannya.
"Tapi maas. Andre keterlaluan. Kenapa tak diberinya kesempatan untuk menyusui Raina dulu? Setidaknya dalam tiga bulan awal kehidupannya.....," Nana makin tersedu.
"Betul. Aku setuju dengan keinginanmu memberikan ASI pada Raina hingga tiga bulan. Tetapi apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaanmu setelahnya? Kau akan jatuh cinta pada bayi montok itu, makin menyayanginya, makin tak bisa berpisah dengannya.....," jawaban Dagdo seperti mewakili isi hatinya.Ia telah jatuh cinta pada bayi itu bahkan sejak pertama kali melihatnya di rumah sakit itu.
"Maksud mas Dagdo? Aku tak boleh jatuh cinta dengan anakku sendiri, darah dagingku yang kulahirkan dengan susah payah?" protesnya.
"Bukan begitu. Kalau kau mencermati isi surat perjanjian itu sejak awal, tentu kau tak perlu menyesali semua yang telah terjadi seperti ini. Mengurung diri, menangis sepanjang hari........,"
Nana menghela nafas sepenuh paru-parunya. Kata-kata Widagdo benar, aku terlalu percaya pada Andre dan menganggap surat perjanjian itu hanya formalitas belaka. Aku telah salah mengartikan cinta yang ditawarkan Andre kepadaku.
Menyesal? Mungkin.
Nana merasa dirinya adalah perempuan paling bodoh se dunia.
Duluuu....ia sangat mengagumi Andre. Ia selalu bersemangat setiap kali menghadiri acara yang melibatkan pria jangkung itu di dalamnya.
Entah sebagai Ketua, sesekali sebagai Tim Pengarah..... Nana tersenyum pedih saat kenangan itu melintas-lintas dalam pikirannya.
"Heeh...kok malah melamun?" goda Widagdo.
Nana memalingkan wajahnya ke tembok. Ia tak ingin wajahnya yang bersemu merah ketahuan oleh pria di hadapannya ini.
"Ingat, seorang anak punya ikatan batin yang sangat kuat dengan ibu yang melahirkannya. Kau jangan terlalu larut dalam kesedihan seperti sekarang......."
Nana menoleh, sorot matanya menyiratkan duka.
"Rania akan ikut-ikutan rewel kalau mamanya banyak pikiran. Kasihan dia, masih terlalu kecil untuk terlibat dalam masalah seperti ini.....," Dagdo memandang Nana tepat di bola matanya.
"Mulai sekarang, biarkan Rania dalam pengasuhan Andre dan Meike......."
Nana mengangguk. Dipandanginya wajah Dagdo dari arah samping. Tentu saja diam-diam. Ia tak ingin terpergok tengah memperhatikan laki-laki itu lagi.
"Na.....,"
"Oh....eeh....ya mas...," jawabnya tersipu.
"Apa rencanamu selanjutnya?"
"Boleh aku tanya satu hal mas?"
"Apa itu?"
"Apaa......apa mas bersungguh-sungguh ingin menikah denganku? Duluu, mas pernah mengatakannya....," suara Nana tercekat di tenggorokan. Ia malu, namun sangat ingin tahu.
Dagdo menggenggam jemari Nana, tatapan matanya tajam menusuk.
"Aku mengagumimu sejak lama Na, sejak Andre memperkenalkan kita beberapa tahun yang lalu." Widagdo menghela nafas. Ia mencari jawaban di wajah perempuan itu. Raut muka Nana datar, tanpa reaksi.
"Sejak membaca surat perjanjian itu, rasa cintaku makin besar kepadamu. Aku tidak rela jika Andre mencampakkanmu setelah niatnya memiliki anak kesampaian.....," bisiknya.
Nana mencari kejujuran dalam sorot mata Dagdo. Tak ditemukannya kebohongan di sana.
"Tapi......kenapa mas tak berusaha merebutku dari Andre? Kenapa mas?"
"Andre pernah menyelamatkan hidupku yang sudah berada di ujung tanduk......," jawab Dagdo sambil tertunduk. Tangannya mengepal, buku-buku jarinya mengeras.
Tbc