"Maas,kenapa mas Dagdo diam saja? Tegakah mas memisahkannya dan menyerahkannya pada Andre? Ini,ini anak kita mas....," sedu Nana pilu.Hati Dagdo berdesir saat didengarnya Nana menyebut Raina bayi perempuan mungil yang cantik itu sebagai anak kita.
Benarkah?
Benarkah apa yang ia dengar?
Anak kita?
Sudah seminggu ini mereka membawa pulang Raina ke rumah ini. Andre berhasil membujuk Dagdo untuk kembali menemani Nana mengasuh bayi mungil itu.
Pipinya yang montok menggemaskan, sorot matanya yang berbinar-binar tanpa dosa, jemarinya yang mungil, tangisnya yang menyemarakkan pagi buta mereka.
Widagdo telah jatuh cinta pada sosok mungil yang tak berdosa itu. Bayi Andre dan Nana.
"Kita bisa memilikinya sendiri nanti," jawabnya mengambang. Ia seolah tak yakin dengan jawaban yang diberikannya.
"Benarkah? Mas menginginkan seorang bayi?" alis mata Nana terangkat. Ia hampir tak percaya pada apa yang didengarnya.
"Nana......aku.....aku ingin mengatakan sesuatu....," tergagap-gagap Dagdo menjawab pertanyaan Nana.
Nana menoleh saat Dagdo menyodorkan surat perjanjian.
Ia mengerutkan keningnya ketika Dagdo menunjukkan point-point kesepakatan tentang bayi yang akan dilahirkannya kelak.
Ia mengeluh pelan, menyadari bahwa ia tak bisa memiliki Raina setelah bayi itu berusia satu bulan.
Andre telah menyiapkan klausa kesepakatan dengan sangat detail, rupanya ia telah merencanakan sesuatu.Nana menepuk dahinya, menyesali kebodohannya sendiri.
Dulu, ia tak membaca perjanjian itu dengan teliti, ia percaya Andre tak akan tega membohonginya.
"Aku akan menikahimu setelah Andre menceraikanmu."
"Apa? Mas Dagdo bercanda? Bukankah mas bersedia menemaniku atas permintaan Andre?"
Nana terlonjak dari duduknya.Raina terbangun karena kaget. Tangisnya segera memenuhi ruangan.
Sambil menyusui Raina, Nana mengingat-ingat waktu yang telah mereka lewatkan berdua.
Senyumnya mengembang ketika teringat bagaimana kikuk dan canggungnya mereka saat awal-awal tinggal di rumah mungil ini.
Widagdo yang takut-takut menggandengnya saat menyeberang jalan, tersenyum malu-malu ketika digoda dokter kandungan tempat biasa mereka kontrol kehamilan, atau Widagdo yang mendorong tempat tidur beroda di rumah sakit saat ia mau melahirkan dulu dengan wajah cemas.
Nana tak menyadari Widagdo memandanginya begitu rupa.
Sorot matanya penuh cinta.Tbc