11

568 32 0
                                    

Gubraaakkk....

"Aduuuhh," perempuan itu merintih sambil memegangi tungkai kakinya. Rupanya ia keseleo saat terpeleset di ujung tangga darurat.

"Mbak tidak apa-apa? Mananya yang sakit?" Andre membantunya bangkit berdiri. Sepertinya ia mengenal perempuan di depannya ini.

"Nana? Benarkah ini Mardiana?" tanyanya tak yakin.

"Kau....kau Andre kan?" perempuan itu tak kalah terkejut melihatnya.
Tanpa menunggu persetujuan, Andre membopong Nana menuju ke pintu keluar. Dilambainya taksi yang kebetulan tengah melintas.

"Ke Rumah Sakit Sederhana pak," perintahnya halus.

"Kau tak perlu repot-repot membawaku ke rumah sakit Andre," Nana memprotes.

"Ini hanya keseleo biasa. Nanti diurut di tukang pijit langganan, beres....," sungutnya. Wajahnya memerah menahan malu, dibopong oleh lelaki yang diam-diam dicintainya. Dulu.

"Siapa tahu ada tulang yang retak? Kau perlu rontgen....," jawab Andre santai.

"Bagaimana hasilnya dok? Apa ada yang retak, atau...patah...atau....?"

"Tak usah panik Pak. Ibu Nana hanya keseleo. Lain kali jangan memakai sepatu high heel lagi yaa....,"
seloroh dokter itu mau tak mau membuat Nana tertawa. Sejenak ia melupakan rasa sakit yang dideritanya.

Setelah bertukar nomor telepon, Andre menemani Nana menunggu taksi yang akan membawanya pulang. Pertemuan itu meninggalkan kesan yang mendalam di hatinya.




***********





"Selamat pagi." Pesan pendek itu mampir di hapenya Senin pagi.

Saat Andre masih terjebak macet di jalan Jendral Sudirman.
Senyum Andre mengembang. Nana. Perempuan itu mengirim sapaan yang hampir tak pernah diterimanya lagi dari Meike.

"Selamat pagi juga," balasnya. Antrian kendaraan di lampu merah itu mengular hampir 200an meter ke belakang. Mobil Andre salah satunya. Ia terjebak di tengah-tengah, tak bisa maju ataupun mundur.

Hanya itu. Berkali-kali Andre menengok hapenya, berharap Nana mengirim balasan. Tak ada satu pun. Hingga Andre pulang ke rumah pun, tak ada pesan pendek terkirim untuknya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Entah apa.

Ini hari ke sembilan sejak Nana mengirim sapaan ke hapenya. Andre seperti menemukan oase yang memuaskan dahaga hatinya. Hal-hal kecil, yang selama ini telah terlupa oleh Meike. Kemanjaan kecil yang menjadi bumbu rumah tangga mereka.

Lambat laun, Andre justru lebih sering bercengkerama dengan Nana. Hal-hal kecil, perbincangan tanpa arah, senda gurau saat di sekolah dulu semakin lama semakin menjauhkan Andre dari Meike.

Tanpa disadarinya.
Ditunggunya pesan pendek Nana dengan penuh gairah, setiap pagi.

Terjebak kemacetan tak lagi menjadi sesuatu yang membosankan baginya. Nana dengan senang hati menemaninya, meski tak secara fisik berada di sampingnya.

Celotehannya, gurauannya...selalu menimbulkan rasa aneh di hatinya. Rindu?

Entahlah. Andre tak bisa mengatakan itu perasaan rindu.

Pagi ini Andre nekat menelepon Nana. Ia ingin sekali mendengar suara perempuan itu lagi.

"Andre? Tumben menelepon? Sedang senggangkah?" tanyanya beruntun. Nana heran karena Andre tak pernah menelepon sebelumnya.

"Kangen dengan suaramu."

"Hahaha..... aneh sekali jawabanmu. Sedang dimana ini? Di jalanan? Terjebak macet?"

Perbincangan itu mengalir begitu saja. Ngalor ngidul, tanpa arah, bicara remeh temeh tentang kegiatan sehari-hari.

Hati Nana mekar karenanya. Pria yang diam-diam dicintainya, yang sejak dulu diharapkannya berbagi masa depan bersamanya.

Tbc

NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang