"Dagdo.......kau punya waktu senggang untukku? Kapan?" tanyanya nyerocos. Seolah tak diberinya kesempatan untuk menjawab pertanyaannya sedikitpun.
"Kebiasaan. Kenapa emang? Ada yang bisa saya bantu?" jawab suara di seberang telepon santai. Widagdo sangat hapal kebiasaan Andre bila sedang tegang dan banyak masalah.
"Kutunggu di Café Permata siang ini yaa. Awas kalau tidak datang. Kudatangi rumahmu, kuledakkan dengan petasan banting," ancamnya bercanda. Widagdo tertawa ngakak di ujung sambungan telepon.
***********
"Ada apa? Kok seperti kebakaran jenggot begitu....," Dagdo langsung memberondong dengan pertanyaan. Ia bahkan belum sempat duduk.
"Kau harus menolongku Dagdo. Kali ini saya benar-benar butuh," jawab Andre cemas. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya menyembul.
"Kau masih ingat Mardiana kan? Gadis manis yang dulu pernah kuajak ke rumah dan kukenalkan padamu?"
"Nana? Masih dong. Kamu tahu kalau aku naksir dia.....," Dagdo masih belum mengerti jalan pikiran Andre.
"Emang kenapa dengan Nana?"
"Gini. Beberapa hari yang lalu Nana mengajakku bertemu di sini. Ini yang dibawanya.....," Andre mengangsurkan kertas hasil test lab itu kehadapan Widagdo.
Wajah Widagdo merah padam melihat kertas itu. Bergantian dipandanginya wajah Andre dan tulisan di kertas itu. Sebuah tanda + terpampang di sana. Positif?
"Apa....apa maksudnya ini Andre? Kau....kau.....?"
"Yaa. Nana mengandung benihku. Bagaimanapun juga, aku ingin punya keturunan. Sebagai penerusku.....," suara Andre tercekat di tenggorokan.
Widagdo membisu di kursinya. Ia hanya mengangguk saat pelayan menghidangkan nasi goreng pesanannya.
Berdua mereka menikmati makanan pesanan masing-masing.
Andre hanya mengaduk-aduknya, sementara Dagdo hanya menyuap dua tiga sendok. Didorongnya piring yang masih terisi separuh lebih itu ke tengah meja. Wajahnya muram.
*************
Andre menepati janjinya. Ia menikahi Mardiana.
Bukan menikah resmi, tapi menikah di bawah tangan. Ia memboyong Mardiana ke kota, membelikannya sebuah rumah tinggal yang mungil dan deposito yang lumayan jumlahnya.
Nana bisa mempergunakan bunganya untuk menunjang kehidupannya sehari-hari. Widagdo ikut pindah ke rumah itu, ia bertugas menjaga dan menemani Nana selama kehamilannya.
Dagdo senang sekali. Sudah lama ia mengangankan bisa tinggal serumah dengan wanita yang diam-diam dicintainya itu. Namun nasib baik tak berpihak kepadanya rupanya. Nana lebih memilih menerima cinta Andre meskipun ia tahu Andre sudah menikah.
Satu yang tak pernah Nana duga sebelumnya, Widagdo ternyata......mandul.
=====%%%%%%%=====