Hingga hari itu, hari dimana Nana terperosok ke jurang saat mendaki Merapi.....
"Tidak paa.....tidaaakk........," Nana melempar segala benda yang ada di hadapannya ke dinding.
"Aku tidak mauuu.....tidak pa....jangan ijinkan.....," ia menangis melolong-lolong, menimbulkan keharuan siapa saja yang mendengarnya.
Andre berusaha memeluk Raina, memberikannya kekuatan. Raina yang tengah histeris meronta-ronta sekuat tenaga. Meike terduduk di sudut ruangan, sesenggukan. Air matanya mengalir deras di pipinya yang tirus.
"Maaf dokter, bisa kita bicarakan sebentar lagi? Saya.....saya harus menenangkan anak saya dulu.....," pinta Andre.
Kedukaan tergambar jelas di raut wajahnya yang kuyu. Sudah beberapa hari ini ia begadang di rumah sakit menunggui Raina.
Anggukan dokter Radian melegakan perasaannya sesaat.
"Terima kasih dok...," serunya sebelum dokter itu berlalu dari ruangan Nana.
Dokter yang merawat Nana memutuskan untuk mengamputasi kaki Nana sebatas lutut.
Tempurung lututnya pecah. Infeksi karena luka dalam di betisnya telah membusuk dan mengeluarkan aroma tidak sedap. Tak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa Raina. Betis itu harus diamputasi untuk mencegah infeksi itu menjalar ke paha.
Untuk kali pertama ini Andre tak bisa menahan air matanya.
Terbayang bagaimana kecewanya Nana nanti.
Anak perempuannya, yang selama ini lincah bergerak kemana-mana sekarang harus tergantung dengan kruk dan kursi roda.
"Dok,bagaimana dengan anak saya nanti? Anak perempuan saya satu-satunya apakah dia harus....harus.....?" rintihnya pilu.
"Dia yang biasanya beredar kemana-mana.....sekarang harus tergantung pada orang lain, tergantung pada kursi .....,"
Andre masih saja menangisi nasib Nana. Dokter Radian menepuk pundak Andre.
"Tidak....tidak adakah cara lain? Dengan tempurung lutut pengganti, misalnya?"
meski tahu jawaban pertanyaan itu, Andre tetap saja menanyakannya. Dokter Radian menggeleng.
" Ini jalan satu-satunya pak. Untuk menyelamatkan nyawanya. Tak ada pilihan lain....," sahutnya lagi.
Pada akhirnya Andre menandatangani berkas persetujuan operasi itu.
Ia tak ingin kehilangan Raina anak semata wayangnya. Nantinya, Raina bisa mengenakan kaki palsu untuk menunjang aktifitasnya sehari-hari. Meike mendukung sepenuhnya alasan Andre.
************
"Papa jahaaaattt.....jahaaatt.....papa tega melihat Nana cacat........,"
Berulang kali Andre harus memegangi tangan Nana yang mencoba mencabik-cabik perban yang membalut lututnya.Luka bekas operasi itu belum kering benar.
"Naaa......sabarlah. Kami tahu perasaanmu nak. Mama dan papa tidak bermaksud untuk membuatmu kehilangan kaki seperti itu....,"
Meike menangis sambil menenangkan Nana.
Perawat dan dokter Radian datang tergopoh-gopoh. Ia memegangi lengan kiri Raina, lalu menyuntikkan sesuatu di sana. Sejurus kemudian Nana tampak lebih tenang.
"Maaf Pak, Bu.....saya terpaksa menyuntiknya. Kondisi pasien harus dijaga supaya tetap stabil....," urainya. Andre dan Meike mengangguk mengiyakan. Bagi mereka keselamatan Nana lebih penting.
"Kami permisi dulu Pak, Bu....mariii....," dokter Radian dan perawat itu pun berlalu.
Tinggallah Meike memeluk Raina yang terlelap karena suntikan itu dan Andre. Ia berdiri bersedekap di depan jendela.
Pandangannya jauh menerawang, seakan indahnya taman bunga yang ditata cantik di arah bawah jendelanya itu tak terlihat olehnya.
Apakah ini teguran Allah atas perbuatanku selama ini?
Aku telah menyembunyikan keadaan Meike selama bertahun-tahun, ketidak jujuranku atas asal usul Raina selama ini?
Atau.....karena aku tak mengatakan apa keinginan yang kupendam jauh di dalam hati tentang hadirnya seorang anak dalam pernikahanku?
Tapi kenapa harus Raina yang menerima teguran ini?
Kenapa bukan aku saja yang buntung kakinya?
Ia masih muda.......
umurnya masih panjang untuk menjelajah dunia...... .
Tak henti-hentinya Andre meratapi nasibnya. Nasib anak semata wayangnya.
Rumah Sakit ini termasuk salah satu rumah sakit yang terkenal di Yogya. Taman yang terdapat hampir di sekeliling ruang-ruang perawatan memberikan nuansa hijau yang segar kepada mata yang memandangnya.
Pepohonan yang dibiarkan rimbun di sana sini memberikan cukup supply oksigen yang dibutuhkan oleh orang-orang yang berada di rumah sakit itu.
Sering kali dijumpai keluarga penunggu pasien yang menikmati semilirnya angin di lorong-lorong rumah sakit. Mereka duduk terkantuk-kantuk.
Tbc