5

1.3K 47 0
                                    

Dddrrrttt.....dddrrrrttt..... Lengkingan suara Glenn membuyarkan lamunan Andre. Diraihnya hape yang sejak tadi tergeletak di meja kerjanya.

"Hallo Na...... ada angin apa kau menelepon? Bukankah 'perjanjian' kita dahulu sudah jelas?"
entah kenapa amarah Andre naik hingga ke ubun-ubun. Suaranya meninggi, keningnya berkerut-kerut.

"Hei..... kau lupa? Dia juga bagian dari diriku.....," sahut Nana ketus.

"Sssstt...jangan mengajak bertengkar. Meike bisa collaps nanti....," jawab Andre lesu. Ia menurunkan volume suaranya ke titik terrendah.

"Kau siih, aku berhak tau bagaimana kondisi Nana. Kau tahu itu....," sungutnya.

"Iya. Aku paham. Tapiiii..... Pliiisss....,"

Andre memohon-mohon. Nada suaranya pelan seakan takut membangunkan seorang putri yang tengah tertidur di sampingnya.

"Sudah bertahun-tahun Andre. Sudah selama itu pula aku menunggu kesempatan untuk bisa bertemu Nana," suara bernada tuntutan itu menyesakkan dada Andre.

Ia menyadari sepenuhnya kesalahannya. Sudah waktunya ia memberi kesempatan pada Nana untuk bertemu.

Tapi Meike?

Bisakah ia menerima semua kenyataan ini?

Meike yang rapuh, hatinya pasti akan sangat terluka. Kepala Andre terasa hampir meledak memikirkannya.

Cerita kelam yang disimpannya selama ini, bahkan hampir sama lamanya dengan usia Nana, kini harus diungkapkannya.

Pada Meike, pada Nana juga. Ia tak bisa membayangkan apa jadinya nanti. Tapi, bukankah ini bagian dari perjanjiannya dulu?

Andre meremas-remas rambutnya gemas.



******************




"Dokter. Bolehkah saya meminta tolong?" Andre mencondongkan tubuhnya ke arah dokter Baroto. Dokter kandungan yang dikenalkan oleh Samuel beberapa waktu yang lalu.

"Maksud Bapak? Apa yang bisa saya lakukan untuk Bapak?" jawab dokter Baroto. Sorot matanya menyiratkan beragam pertanyaan.

"Tolong dok. Tolong katakan kalau saya yang tidak mampu. Ini demi masa depan kami, kebaikan kami berdua.... ," mohon Andre.

Berkas pemeriksaan laboratorium bergetar di tangannya.

Baroto menepuk pundak Andre perlahan. Ia tak bisa memahami jalan pikiran Andre.

"Boleh saya tahu alasannya kenapa? Bukankah ini berarti Bapak mengajarkan saya untuk berbohong?" Baroto masih belum mengerti apa yang dimaui Andre.

"Saya tidak ingin hati Meike terluka. Cukup saya saja. Jujur, Meike sangat menginginkan bisa memberikan keturunan untuk saya. Hal itu berkali-kali diungkapkannya kepada saya. Apalagi dokter tahu kebiasaan masyarakat di sekitar sini kan? Tuduhan mandul itu akan serta merta ditimpakan kepada pihak perempuan, tanpa memperdulikan perasaannya......," jawab Andre panjang lebar.

"Saya tidak ingin Meike lebih hancur dan terluka dokter. Setidaknya, hal ini akan menyelamatkan harga dirinya di hadapan keluarga besar kami.....," Andre seolah menumpahkan seluruh luka hatinya ke hadapan dokter Baroto.

"Baiklah. Ini hanya antara Bapak dan saya......," akhirnya dokter Baroto menyerah. Diulurkannya dua buah amplop coklat ke hadapan Andre.

"Yang ini....Bapak harus simpan baik-baik. Ini rahasia yang tak boleh diketahui oleh siapapun."

"Yang ini.... Bapak bisa membukanya nanti di hadapan ibu. Terserah bagaimana Bapak menjelaskannya....," dokter Baroto menggantung kalimatnya.

"Saya tahu dokter. Biarlah nanti saya sampaikan pada saat yang tepat." Andre menjabat tangan Baroto, lalu pamit mohon diri.

Tinggallah Samuel yang menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak mengerti.

Tbc

NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang