5. Asa Yang Hilang

38 3 0
                                    

Setelah kepulangan Adie, tiba-tiba Firda tersadar bahwa selama satu jam bersama dia, Adie lebih belum menceritakan apapun, dan konyolnya lagi Firda tidak menanyakan apa yang telah terjadi selama satu tahun terakhir, kenapa Adie tidak bisa dihubungi dan tidak pula menghubungi dirinya. Semua sudah terlambat, Adie sudah pulang kerumahnya, dan tak ada apapun yang bisa Firda lakukan. Bahkan Adie tidak memberikan nomor teleponnya yang baru. " Tenang besok aku bisa menemui Adie dirumahnya" firda menghibur dirinya sendiri, meskipun dia tidak cukup yakin dengan apa yang diucapkannya sendiri.

"Firda, tolong bantu ibu belanja ke pasar, Asih dan ibu akan membersihkan taman rumah, daftar belanjaan dan uangnya ibu simpan di atas meja makan" Ibu sudah berada di samping Firda yang sedang sibuk merapikan meja belajarnya. Asih adalah adik Firda satu-satunya. Jarak umur mereka berdua lumayan jauh 6 tahun, sehingga mereka menikmati masa remaja dalam kurun waktu yang berbeda. Hal inilah yang membuat Firda terkaang merasa seperti anak tunggal. Sehingga keberadaan Adie sangat berarti buat Firda. "Baik bu, Firda berangkat ke pasar sekarang" jawab Firda sambil membawa benda-benda yang sudah tidak diperlukan lagi dan menyimpannya di gudang barang di belakang rumah. Setelah membeli seluruh barang yang ada di daftar belanjaan ibu, Firda segera kembali ke rumah. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, "Hai Fir, sendirian saja". Firda terkejut sekali, dengan gerak reflek tubuhnya berbalik ke arah sumber tepukan. "Sari !" pekiknya sambil melotot tidak percaya menatap gadis di belakangnya. Sari adalah teman satu kelas Adie, yang juga pernah menjadi teman belajar kelompok mereka berdua saat kelas 1 SMA. Sari tinggal di perumahan yang sama dengan Adie. Setelah berbincang beberapa saat, tiba-tiba sari berkata " Keluarga Adie sudah pindah ke Jakarta, apa Firda sudah tahu ?" tiba-tiba tenggorakn Firda tercekat, bukan kah tadi malam dia bertemu Adie. "Belum" jawab Firda mencoba sedatar mungkin. Sari melanjutkan kalimatnya " Tadi sehabis sholat subuh, kami mengantarkan ke stasiun kereta api" serasa persendian Firda lemas semua, namun dia tetap berusaha tidak menampakkan ekspresi sedih dan kecewa. Ini kelebihan lain dari Firda, selalu saja pandai mengendalikan dirinya dalam situasi apapun tetap tenang dan penuh pertimbangan. Jika Sari tahu apa yang berkecamuk di dalam diri Firda tentu dia akan turut merasakan kesedihan temannya itu, namun Sari tidak melihat perubahan apapun di wajah Firda, sehingga Sari mengangap semua biasa saja. Sari hanya tahu Firda dan Adie berteman dekat, dan tidak lebih dari itu.

Masa libur semester sudah usai, Firda kembali ke kampusnya untuk melanjutkan studi. Aku harus terus berjuang, Adie tidak akan suka jika melihatku bersedih dan murung, pasti dia akan meledekku, kamu itu harus selalu tersenyum dan ceria biar muka jutekmu dak dilihat oleh orang lain. Itu kalimat yang di ingat Firda jika mereka berdua sedang berantem.Firda kembali tenggelam menikmati setiap proses yang terjadi di universitas tempat dia menuntut ilmu. Memasuki semester 6, Firda mengambil mata kuliah kerja nyata. Firda harus mengabdi di desa terpencil bersama beberapa orang dari berbagai fakultas yang ada di universitasnya. Ada yang bilang bahwa sering terjadi cinta lokasi saat kegiatan KKN berlangsung, karena mereka tinggal bersama selama hampir dua bulan. Firda hanya tersenyum melihat gurauan teman-teman satu kostnya. Siang itu dia mulai menata pakaian dan perlengkapan yang akan dibawanya selama KKN, ditemani dengan beberapa teman kostnya yang sengaja berkumpul di kamar Firda.

Tiba-tiba mbak penjaga kost memanggil namanya "Mbak Firda ada temannya yang datang" suara itu menghentikan guyonan yang sedang berlangsung di kamarnya. "Siapa ya, rasanya aku dak ada janji dengan siapapun" gumam Firda kepada teman-temannya. yang lain hanya menanggapi dengan gelengankepala dan muka penuh tanda tanya. Firda segera mengambil Kerudung Minang kesukaannya, dan keluar melihat siapa yang datang.

"Adie ... " suara Firda tertahan, yang dipanggil hanya tersenyum. "Aku tidak sedang bermimpikan ?" lanjut Firda, tak henti dia menepuk-nepuk pipinya. Tentu saja rasa sakit yang dia rasakan menandakan bahwa dia tidak sedang bermimpi. Kemudian Firda mempersilahkan Adie duduk di bangku teras rumah kostnya. Sambil menikmati gemericik air mancur yang berasal dari kolam kecil di tengah taman di hadapan mereka, terdengar perbincangan hangat antara dua orang sahabat yang telah berpisah selama dua tahun. Tanpa saling memberi kabar tanpa tahu keadaan masing-masing. Namun Tuhan punya cara yang tidak diduga sehingga mempertemukan mereka kembali. Inilah saat bahagia bagi Firda Maupun Adie.

"kamu kenapa pergi tanpa pamit? Firda memulai percakapan. "Bagaimana kuliah mu?" Adie menjawab pertanyaan Firda dengan pertanyaan yang lain. Dan ini mengisyaratkan Adie tidak mau menjawab pertanyaan Firda. Begitulah Adie tetap saja dingin dan sesuka hatinya, namun Firda selalu memahami dan menempatkan posisi sebaik mungkin agar pertemuan yang telah lama dibayangkan ini bisa meninggalkan kenangan indah. Dengan ceria Firda bercerita tentang kuliahnya selama dua tahun terakhir. "Hari minggu besok aku akan berangkat KKN, apa kamu mau mengantarku?" Firda bertanya seolah pada dirinya sendiri, karena dia merasa yakin bahwa Adie tidak bisa mengantarnya. " Jam berapa kamu akan berangkat?" tanya Adie kemudian. "Wah ... Beneran mau mengantarku? " Seolah tidak percaya apa yang telah di dengarnya. Namun tidak ingin Adie berubah pikiran Firda langsung menjawab pertanyaan Adie.

Matahari belum lagi menampakkan diri, awan hitam menutupi indahnya sinar sang mentari pagi. Cuaca dingin dan langit yang gelap tidak menyurutkan langkah Firda. Setelah memeriksa kembali barang-barang yang akan dibawanya, bergegas dia menuju lapangan di depan gedung rektorat, lokasi tempat berkumpul semua mahasiswa yang akan melaksanakan KKN dari berbagai fakultas. Firda berjalan dengan penuh semangat meskipun tas ransel bertengger dipunggungnya cukup berat untuk ukuran seorang gadis.

Di lapangan depan rektorat nampak sudah berbaris rapi beberapa bis yang akan membawa semua mahasiswa ke lokasi KKN masing-masing. Setiap bis diberi nomor dan lokasi yang akan dituju, sehingga semua mahasiswa tidak akan kebingungan mencari bis yang akan dinaikinya. Firda sudah melewati fakultas perikanan, 300 meter lagi akan sampai dilokasi tujuan, namun tiba-tiba hujan turun. Meskipun masih gerimis, Firda memilih berteduh, karena tidak ingin barang bawaannya basah oleh air hujan. Dia melirik jam dipergelangan tangannya, masih ada waktu satu jam menuju waktu pembetangkatan. Akhirnya Firda memilih duduk di bangku panjang tak jauh dari tempatnya berteduh. Sambil menatap butir-butir yang jatuh dari langit, tanpa disadari ingatannya kembali ke masa SMA.
"kita pulang yuk" ajak Firda kepada Adie. "masih hujan" jawab Adie sambil tangannya masih menari di atas keyboard laptonya. "aku pulang dulu ya ... " lanjut Firda sambil beranjak mengambil tas sekolahnya. "tunggu ... " Adie berdiri dan menyimpan Laptop di loker pribadinya. Kemudian mereka berdua melewati koridor sekolah yang sudah lengang. Tiba - tiba Adie mendorong Firda ke luar dari koridor dan tentu saja hujan langsung mengguyur tubuh Firda. Tidak mau kalah, Firda berusaha menarik tangan Adie yang sudah berlari menghindar. Hingga akhirnya mereka berdua benar-benar bermain hujan-hujanan. Mereka lupa bahwa mereka tidak lagi anak kecil yang senang bermain di tengah hujan.

Satu hal yang Firda selalu ingat, Adie selalu mengalah dan menuruti keinginannya untuk bermain di saat hujan. Lamunan Firda terhenti saat dia melihat seseorang sedang berdiri di depannya. "Adie ... " seperti biasa yang dipanggil hanya tersenyum. "Sini aku bawakan tas mu, bukankah tiga puluh menit lagi kamu harus berangkat" Kata Adie sambil mengangkat tas di samping Firda. Mereka berjalan beriringan, tak ada kata yang keluar dari bibir mereka. Mereka sibuk menata hati dan mengendalikan pikiran masing-masing. Terkadang diam adalah cara yang paling tepat untuk mengungkapkan banyak hal yang tidak lagi bisa disampaikan dengan kata-kata.

Bis mulai bergerak perlahan, Firda masih melambaikan tangan ke arah Adie, tiba-tiba Firda mengeluarkan handphonenya dan memberikan isyarat pada Adie bahwa dia ingin Adie memghubunginya. Dari jendela bis Firda masih melihat dengan jelas Adie tersenyum dan menganggukkan kepala. Firda pun tersenyum dan terus melambaikan tangan. Tubuh Adie yang tinggi dan kurus mulai hilang dari pandangan Firda. Dan tiba-tiba ada bulir bening menetes di tangannya.

Aku harus terus menyembunyikan rasa ini,  Adie tidak boleh tahu jika aku menyayanginya tidak hanya sebagai sahabat. Aku tidak ingin Adie pergi lagi, biarlah ini menjadi rahasia aku dan Penciptaku. Firda selalu berpikir bahwa Adie hanya menganggapnya sebagai sahabat tidak lebih. Hal inilah yang membuat dia tidak ingin berekspektasi terlalu jauh tentang Adie.

Puzzle Yang Tak BerbentukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang