9. Berdamai dengan Keadaan

11 0 0
                                    

Malam itu, Adie hendak menemui Firda. Ini kejutan ke tiga dan merupakan kejutan terakhir. Karena dia sudah memutuskan untuk menyampaikan semua rasanya kepada Firda. Menurut informasi dari Sari, tiga bulan lalu Firda sudah diwisuda. Tidak alasan lagi untuk menunda untuk menyampaikan semuanya. Malam ini saat yang tepat untu mewujudkan niatnya. Dengan wajah gembira Adie mengetuk pintu rumah Firda. Tidak berapa lama terdengar langkah kaki seseorang, dia berharap itu adalah Firda. Namun ternyata adiknya yang muncul dari balik pintu.

"Assalamualaikum, Firda ada?" dengan sopan Adie bertanya.
"Mbak Firda tidak tinggal disini lagi mas, dia ikut suaminya". Jawaban itu cukup menghujam hatinya. Dia segera berpamitan dan pulang. Berbagai pertanyaan berkecamuk dibenaknya. Kapan pernikahan itu terjadi? Mengapa Firda tidak memberinya kabar? Adie tidak pernah menemukan jawaban atas semua pertanyaannya. Dia tidak berusaha mencari tahu. Kejutan ini membuatnya bena-benar terkejut. Seolah bangun dari mimpi panjang yang menakutkan, dia baru sadar bahwa selama ini dia tidak memberi kabar kepada Firda. Lantas bagaimana mungkin dia menyalahkan sahabatnya. Bahkan nomor telepon pun tidak dia berikan. Mungkin ini balasan dari sikapnya selama ini. Tidak perlu menyalahkan siapapun, kesalahan terbesar terletak pada dirinya sendiri. 

Penyesalan selalu datang diakhir suatu kejadian, semua sudah terjadi. Aku harus menerima kenyataan bahwa Firda telah pergi bersama orang lain. Adie menghela nafas berat serasa ada beban berat menghimpit dadanya. Sampai di rumah, dia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia tidak menghilauan sapaan dan tatapan bingung saudaranya. Diam adalah cara terbaik untuk mengontrol dirinya. Cukup hanya Tuhan dan dia yang tahu apa yang dirasakannya malam ini. Dia memilih tidur agar bisa melupakan sejenak semua masalahnya. Dengan harapan besok saat Matahari terbit dia biasa memulai hari yang baru dengan penuh semangat.

Terdengar bunyi peluit yang ditiup panjang, pertanda kereta harus segera berangkat. Adie memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta. Tidak ada lagi hal bisa dilakukan di kota kelahirannya ini. Dia tidak bisa lagi melihat wajah teduh sahabatnya yang membuatnay selalu rindu kota ini. Bukankah kepulangan kali ini hanya untuk menemui Firda, serta mengajaknya untuk melanjutkan hubungan mereka tidak hanya sebatas sahabat. Namun semua sudah terlambat, tidak ada senyum tulus sahabatnya yang selalu memanggilnya untuk datang ke kota ini. Adie menatap kosong, inikah rasanya kehilangan? Ingin rasanya dia berteriak sekeras-kerasnya agar semua orang tahu dia sedang terluka. Dia mengepalkan genggaman tangannya seolah ingin memukul sesuatu agar dia bisa menyalurkan energi negatif yang ada di dalam tubuhnya. Semua itu tidak dilakukannya, dia hanya diam dan menatap nanar pohon-pohon yang seolah-olah berjalan menjauhi kereta yang dinaikinya.

Hari-hari berat dilalui sendiri. Tidak ada seorangpun yang tahu gejolak dihatinya. Dia terlihat biasa saja, rutinitasnya dijalani dengan baik. Setahun kemudian dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Supaya tidak mengganggu pekerjaannya, maka Adie memilih kelas karyawan. Kesibukan kuliah dan kerja memaksanya mulai mengubur semuanya perlahan-lahan. Tidak perlu menyakiti diri untuk terus berusaha melupakannya. Biarlah  waktu yang akan mengobati lukanya. Karena waktu adalah obat yang paling ampuh buat mengubur masa lalunya. Dia tidak ingin terlalu cepat menghadirkan seseorang menggantikan posisi Firda. Terlalu banyak kenangan indah diantara mereka berdua. Biarlah semua berjalan sewajarnya, suatu hari semua akan kembali normal. hanya berlu bersabar dan berdamai dengan keadaan.

Setelah menyelesaikan program magisternya, Adie mendapat promosi jabatan sebagai manager operasional dan perencanaan. Di divisi inilah dia mengenal Merry. Salah satu staf perencanaan, yang nantinya akan selalu bekerja sama dengannya. Mereka sering terlibat dalam proyek-proyek di luar kota. Kedekatan ini membuat Merry berharap lebih, seperti halnya pepatah jawa  witing tresno jalaran soko kulino. Merry selalu memberikan perhatian lebih. Terkadang dia sengaja membawa makan siang untuk Adie. Atau sekedar mengajaknya nonton berdua. Adie tidak cukup peka akan hal ini, dia masih menganggap Merry sebatas teman. Merry menyadari hal tersebut, sikap Adie yang terkesan sama ke semua teman wanita di kantornya membuktikan bahwa Adie tidak menaruh perhatian lebih kepadanya. Namun Merry tidak segera menyerah, dia tahu Adie butuh seorang teman.

Lima tahun sudah berlalu, aku sudah menata hati dengan baik, sekarang saat yang tepat untuk belajar membuka hati. Biarlah masa lalu bersemayam dengan damai. Usiaku tidak lagi muda, harus ada seseorang yang mengisi ruang kosong di hatiku. Keputusan tersebut diambilnya saat usianya sudah memasuki kepala tiga. Adie mulai memperhatikan lingkungannya, hingga dia menyadari bahwa selama ini satu-satunya wanita yang dekat dengannya hanya Merry. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Adie mengajak Merry untuk menghabiskan hari tua bersama.

Puzzle Yang Tak BerbentukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang