Prologue

8.9K 547 62
                                    

Aku membuka kalender dan melihat sebuah tanggal yang dilingkari warna merah. Sudah lima tahun, bukan? Kupikir lima tahun adalah waktu yang cukup bagiku untuk menghapusmu. Ternyata aku salah besar.

Semakin aku ingin menghapusmu, kepercayaan bahwa kau akan kembali justru semakin besar. Bahkan, dengan berusaha mencintai orang lain, kau selalu menjadi bagian orang itu secara tiba-tiba. Membuatku tiba-tiba menangis dan memeluknya, menatapnya seperti aku menatapmu, dan terpaku tak percaya. Namun, itu semua hanya bayanganmu yang masih jelas tersimpan dalam memoriku, lantas aku berhenti bertingkah seperti itu dan mengatakan kalau itu bukan kau.

"Ji Han-ah," panggilan lembut itu menghentikan pemikiranku tentangmu.

"Aku sudah memanggilmu tiga kali." Sambungnya membuatku sangat malu karena harus melamun di hadapannya.

"Maaf," cicitku.

Ia hanya tersenyum dan aku bergegas berdiri dari kursiku. Sebelum pergi aku mengambil jasku dan menggunakannya. Pria di hadapanku ini memberikan tangannya untuk kugandeng menuju cafetaria. Ia pria yang manis, sungguh.

Kami duduk di meja yang dekat dengan meja makanan. Sengaja aku mengambil meja itu karena aku tahu kalau pria ini punya "lambung sapi". Ia hanya tersenyum senang karena aku memilihkan tempat ini.

"Ya, kenapa kau hanya mengambil brokolinya satu? Kau memberi konsultasi kesehatan kepada orang, tapi kesehatanmu sendiri tidak tercukupi. Kau harus makan banyak. Lihatlah, tubuhmu sudah seperti tengkorak di lab." Ia mengomeliku sambil terus memindahkan beberapa potong brokoli miliknya. Mulutnya yang tak berhenti mengomel saat sedang makan membuat wajahnya semakin lucu dan tampan di saat bersamaan.

"Gwaenchana, Jin-ah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gwaenchana, Jin-ah. Kau tidak perlu khawatir seperti itu," ujarku seraya tertawa melihat tingkahnya.

"Yaa, aku ini pacarmu. Wajar saja aku khawatir." Timpalnya.

Aku memasukkan nasi dan sup ke dalam mulutku yang sebenarnya enggan mengunyah. Seokjin mengulurkan sumpit yang sudah menjepit daging ke mulutku. Astaga, mulutku ini tidak se-elastis mulutnya.

"Aaaaa. Buka mulutmu!" Titahnya.

Mau tak mau aku menelan sedikit nasi yang ada di mulutku dan menerima suapannya. Ia tersenyum lagi dan kembali menyantap makan siangnya dengan lahap. Ia selalu berusaha membuat kecanggunganku terhadapnya hilang, membuatku lupa akan kehilangan mantan kekasihku, dan mencoba membuatku bahagia dengan tingkahnya.

Aku bahagia dengan tingkah lucunya yang absurd dan terkadang tak sadar akan statusnya sebagai seorang dokter, tapi aku belum bisa sepenuhnya memberi hatiku untuknya.

"Bagaimana dengan pasienmu tadi pagi?" Tanyaku mencoba mencairkan suasana.

Ia tampak berpikir dan menelan sebagian makanan dalam mulutnya.

"Pasien yang mana? Lebih spesifik, aku menangani lima pasien pagi ini." Ujarnya.

"Yang menjerit di lobby rumah sakit,"

[Book 2] It's Destiny? Bitter-MYG (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang