16. Kasih Sayang Dalam Duka

38 2 0
                                    


"Joshua, kami sangat membutuhkanmu! Kenapa kau juga mengundurkan diri dari Seventeen?" gertak S.Coups pada orang yang tengah berdiri di hadapannya itu.

"Hyung tega meninggalkan kami sekali lagi?" tambah Dino.

"Biarkan Joshua hyung memilih jalannya sendiri. Dari awal kita tahu bahwa Joshua hyung sangat dekat dengan Jeonghan hyung. Jadi, biarkan mereka bahagia setelah melalui banyak cobaan," kata Woozi.

"Ne, Woozi hyung benar. Joshua hyung pasti sudah lama menantikan hari-harinya bersama Jeonghan hyung," tambah Hoshi.

"Lalu bagaimana dengan kita? Bisakah kita berjuang tanpa mereka?" tanya Mingyu.

"Untuk sementara, kalian akan vakum. Ji Soo-ssi, jika kau dan Jeonghan ingin kembali, maka kembalilah. Agensi dan Seventeen siap menerimamu kapan saja," kata PD-Nim.

"Terima kasih atas kepedulian PD-Nim. Kalau begitu, aku pamit. Annyeong, Seventeen!" Joshua membungkuk, memberi salam terakhir pada mereka semua.

"Hyung, apakah kita hanya bisa duduk diam saja?" kini Seungkwan mulai berbicara pada Woozi.

"Makhluk hidup butuh kebebasan, tidak bisa selalu dikekang oleh aturan ataupun makhluk hidup lain. Kita hanya bisa menunggu sampai waktu membawa mereka kembali pada kita," ceramah Woozi.

Member lain hanya bisa mengangguk dan melanjutkan aktifitas mereka. Sementara PD-Nim segera menghubungi dan mengabarkan keadaan Joshua pada ayahnya Joshua sendiri.

***

Joshua berlari menuju tempat yang kini ia tinggali bersama Jeonghan. Senyumnya tak pernah lepas dari wajahnya, terlebih lagi saat Joshua melihat Jeonghan sedang menyiapkan makan siang untuk mereka berdua.

"Aku pulang!" Seru Joshua.

"Makanlah dulu! Nanti malam kita akan bernyanyi di Cafe temanku."

"Jinja? Wah, itu berita bagus!" Joshua langsung melahap makanan yang Jeonghan sodorkan padanya.

Maafkan aku Joshua. Kau harus menderita seperti ini karena aku. Jika saja Ibu tidak memberitahukan segalanya, mungkin saat ini kau sedang bersenang-senang di rumahmu yang mewah dan megah itu.

"Hei, Sedang memikirkan apa?" tanya Joshua disela kunyahannya.

"Tidak. Aku hanya heran, kenapa kau rela melakukan ini demi orang miskin sepertiku? Padahal jika kau tidak pergi, kau pasti sedang berlibur bersama kedua orang tuamu."

"Berlibur? Berlibur ke penjara?" gurau Joshua. "Sesuatu akan terjadi pada Appa jika aku bersama mereka."

Jeonghan hanya tersenyum sumbang pada Joshua. Ia merasa sangat bersalah telah membawa Joshua bersamanya. Sebagai seorang Kakak, Jeonghan mengaku bahwa dia tidak bisa mencukupi kebutuhan Joshua. Tapi, dia akan terus berusaha membahagiakan adiknya itu. Bagaimanapun caranya.


***

Jeonghan dan Joshua pergi bekerja. Berjalan kaki adalah cara mereka menempuh jalanan Korea. Selain menyehatkan, hal itu bisa sedikit menghemat uang mereka.

"Joshua, jika suatu saat aku tidak bersamamu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Jeonghan tiba-tiba.

"Mencarimu sampai ketemu. Tapi, aku yakin bahwa kau tidak akan pernah meninggalkanku. Benarkan?"

"Ya, tentu. Tapi, jika aku benar-benar tidak kembali bagaimana? Misalkan aku meninggal du—"

"Cukup!" potong Joshua. Dia menghentikan langkah Jeonghan dan langkahnya sendiri. Wajahnya menatap Jeonghan ketus.

"Kau pikir kata-katamu itu akan terdengar lucu? Jangan bicara sembarangan, apalagi menyangkut kematian," tegur Joshua.

Kali ini dia benar-benar marah pada Jeonghan. Joshua bergegas masuk ke Cafe yang mengundang mereka dan meninggalkan Jeonghan.

Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Tapi aku tahu maksudmu mengatakan itu. Kau ingin aku pergi dari sisimu. Baik, setelah pekerjaan ini selesai, aku akan pergi dari sisimu. Bukan hanya darimu, tapi dari semua orang yang mengenalku— batin Joshua.


"Selamat datang. Apa ada yang bisa Saya bantu?" tanya seorang pelayan menghampiri Joshua.


"Ehm, maaf. Aku datang untuk bernyanyi di Cafe ini."

"Bernyanyi? Tapi kami sudah merekrut dua orang untuk posisi itu."

"Ban Han-ah, dia datang bersamaku," celoteh Jeonghan mulai memasuki Cafe.

"Ahh, jadi kau Joshua yang sering diceritakan Jeonghan?"kali ini pelayan yang dipanggil dengan nama Ban Han itu senyam-senyum tidak jelas.

"Ikut aku. Kita ke ruang ganti terlebih dahulu," ajak Jeonghan.

Meski masih marah, Joshua tetap saja mengekor di belakang Jeonghan. Dia marah juga karena Joshua tidak ingin ada hal buruk yang terjadi. Dia tidak ingin berpisah dengan Jeonghan. Apapun alasannya.

Setelah cukup lama saling membisu dan terlarut dalam seragam kerja mereka, akhirnya Joshua memberanikan diri untuk menghadap pada Jeonghan.

Alhasil, belum sempat ia mengeluarkan perkataannya, Jeonghan sudah terlebih dahulu mendekap Joshua.

"Maafkan Hyung, Joshua-ya. Hyung tidak bermaksud menyakitimu..." sesal Jeonghan. Joshua segera melepaskan Jeonghan.

"Seharusnya aku yang minta maaf, Jeonghan hyung. Pikiranku sempit dan aku terlalu menganggapnya serius. Aku seperti ini karena aku tidak ingin kehilanganmu. Aku membutuhkanmu. Kau segalanya bagiku, Hyung. Mianhae, jebal."

"Baiklah. Kita sudah mengaku salah. Sekarang waktunya untuk menunjukan bakat kita pada semua orang. Apa kau siap?"

"Aku sangat siap."

"Kalau begitu, ayo!"

Akhirnya mereka kembali seperti semula. Tidak ada pertengkaran lagi. Malah, sekarang Jeonghan dan Joshua semakin akrab. Mungkin inilah yang seharusnya terjadi sejak dulu.

Blue Sweet Seventeen [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang