Suasana ruangan berukuran 5x5 meter itu sangat canggung. Gia yang memang tidak memiliki keluhan sama sekali kecuali lapar hanya bisa mengiyakan saat Edgar menawarinya obat untuk pereda demam dan sakit kepala. Bahkan Edgar tidak mau repot-repot untuk membuatkan dirinya teh hangat sebagaimana orang sakit biasanya diperlakukan. Lah ini Gia malah disuruh untuk membuat minumannya sendiri. Sinting batin Gia .
" Butuh sesuatu? " Tanya Edgar setelah Gia menelan satu buah pil yang tadi ia berikan kepada perempuan itu. Gia menggeleng pelan sambil menunduk, tidak mampu untuk bertatap mata Elang milik Edgar.
" Bagus, saya juga gamau di babuin kamu " Setelah mengucapkan kata-kata yang mampu membuat emosi Gia naik, Edgar pergi meninggalkan dirinya sendiri.
" Cowok sinting " Teriak Gia. Dirinya merasa beruntung karena cowok itu tidak mendengar teriakannya tadi. Jika Edgar dengar, bisa dihabisi dia oleh kakak kelasnya itu, bukan dengan kekerasan fisik, namun mungkin lebih kepada batin. Gia sangat yakin akan hal itu.
Setelah bel jam pertama dimulai, Gia memutuskan untuk kembali ke kelasnya. Dia tidak suka membolos pada jam pelajaran, terlebih keberadaannya masih murid baru dan tentu Gia tidak mau dipandang jelek oleh para guru.
Beruntung sesampainya Gia di kelas, dia mendapat kabar bahwa guru yang mengajar di kelas mereka saat ini tidak dapat hadir dikarenakan anaknya masuk ke rumah sakit. Yang tentu disambut sukacita oleh masyarakat X IPA C, termasuk Gia sendiri.
Iseng sambil mengisi kegabutan, Gia mengaktifkan ponsel pintarnya yang selalu ia matikan jika berada di sekolah. Tentu bukan kemauan dirinya sendiri, melainkan sikap yang telah ditanamkan ayahnya sejak dirinya dan Ziro , kakaknya masih di sekolah menegah atas. Ayah nya berpesan untuk menghargai guru dengan cara apapun, termasuk mematikan ponselnya.
Ponsel Gia tidak berhenti bergetar, notifikasi dari Line masuk bergantian ke ponselnya.
[Rafka : Nel (28) ]
Hati Gia berdesir, hanya laki-laki itu dan keluarganya yang memanggilnya nella. Gia membuka pesan dari Rafka, membacanya satu persatu. Sebagian besar isi pesannya tentang permintaan maaf yang bahkan sudah tidak ingin Gia dengar.
Gia mengabaikan isi pesan itu, dirinya mulai mengeluarkan Ipod dari saku seragamnya kemudian di putarnya lagu penenang dikala mood nya sedang tidak baik.
Now Playing : Little things – One Direction
Lagu itu bagai candu untuk Gia sendiri. Pasalnya setiap kali lagu itu diputar, perasaannya menghangat, dapat membawanya tertidur, dan bahkan jika Gia ingin menumpahkan air matanya lagu itu mampu membuatnya melepaskan beban di hatinya. Seperti sekarang.
Handphonenya kembali bergetar tanpa henti, kala dirinya masih sibuk membenamkan kepalanya di atas meja.
[ Rafka Calling ]
" Gi handphone lo bunyi tuh " Senggol Caca.
" Biarin aja " Ucapnya tanpa melihat kearah lawan bicaranya.
" Siapa tau penting gi, dari tadi gak berenti soalnya " Jelas Caca lagi, yang didiami oleh Gia. " Gue angkat deh ya " Sebelum Gia berhasil mencegah, Caca sudah lebih dulu mengambil handphone miliknya.
" hallo " Jawab Caca, kemudian melirik Gia yang kini tengah menatapnya frustasi.
" Nella? " Paham akan maksud lirikan Caca, dirinya menggelenngkan kepalanya penuh harap kepada Caca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alkaline
Teen FictionWajahnya biasa saja, tidak cantik seperti pada novel-novel remaja kebanyakan, dimana pemeran utamanya memiliki wajah dan lekuk tubuh yang sempurna. Dibalik kelincahannya dia menyimpan sebuah trauma " untuk apa kisah cinta SMA diseriusi " . Kalian t...