JAKA
Aku tidak tahu kalau ternyata satu tahun adalah waktu yang begitu cepat. SMA Saka baru saja selesai melaksanakan kegiatan MOPDB beberapa hari lalu, yang mana artinya, sekarang aku sudah duduk di kursi kelas dua belas, dan aku akan segera lepas dari jabatanku sebagai Ketua OSIS. Rasanya baru kemarin aku berdiri di atas podium dan mendapat tepuk tangan riuh.Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan setelah LDKS dan pelantikan pengurus OSIS yang baru nanti. Aku belum mau melepas takhta, namun apa daya, periodeku sudah habis sampai di sini.
“Dhimas bagus ya orasinya,” ujar Affan sambil menumpahkan potongan-potongan kertas dari dalam kardus yang dibawanya. Tebak saja bahwa pagi tadi, setelah upacara selesai, baru saja diadakan orasi untuk pemilihan Ketua OSIS periode 2017/2018.
“Gue boleh kasih suara, enggak?” dari arah lain Artha datang dengan kertas kosong dan ballpoint-nya untuk menghitung hasil suara yang masuk.
Aku menggeleng, “OSIS angkatan kita mesti netral, Ar.”
“Ah, enggak asik,” gerutunya sambil ambil posisi di sebelahku. “Ya udah, cepetan dihitung coba.”
Di sini kami menghitung suara berempat. Ada Affan yang akan menghitung dengan Shafa, dan ada aku yang akan menghitung bersama Artha.
Mungkin ini adalah kali terakhir bagi Artha dan aku mendapatkan tugas bersama sebelum kami benar-benar sertijab—serah terima jabatan.
Bisa kukatakan, Artha dan aku sudah jarang berkomunikasi sejak kali terakhir aku meneleponnya di tengah malam dan akhirnya memutuskan untuk berhenti mengganggunya. Sebenarnya bukan maksudku ingin berhenti berkomunikasi dengannya. Hanya saja, aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan.
Berulang kali Artha bilang padaku bahwa aku hanya mengganggunya, maka yang terlintas di benakku hanya satu pernyataan. Bahwa kehadiranku memang hanya mengusiknya. Aku melangkah menjauh darinya bukan karena aku berhenti mencintai Artha, tapi ini adalah keinginannya.
Aku hanya menuruti apa yang membuatnya bahagia. Sesimpel itu.
“Jak, lo udah ngerjain tugasnya Pak Dede?” tanya Artha di tengah-tengah kegiatan kami. Aku mengangguk. “Nanti gue lihat, ya. Jangan ke kelas dulu.”
Shafa terkekeh mendengar permintaan Artha kepadaku. “Lo jadi wakil enggak ada jaim-jaimnya pisan, Ar.” Artha hanya membalasnya dengan tawa pelan.
Kami baru selesai menghitung hasil suara pada pukul sembilan lebih lima belas. Lima belas menit sebelum bel istirahat berbunyi. Dan selama sisa lima belas menit itulah Artha menyalin PR bahasa Indonesiaku, sementara aku sarapan, lalu Affan dan Shafa masih sibuk menggabungkan beberapa hasil suara yang tadi kami hitung.
Jadi sebenarnya, Artha dan aku sudah jarang berkomunikasi kecuali karena hal-hal penting yang melibatkan OSIS. Mendapatkan tugas di OSIS adalah satu-satunya alasanku untuk bicara pada Artha, dan itu juga salah satu favoritku sekarang.
“Dhimas sama Ranita cuma beda lima suara, ih!” ujar Shafa, membuat Artha dan aku serempak menoleh. “Penerusnya Jaka Artha nih.”
Artha melengos ke arahku, kemudian diam membisu. Aku hanya tersenyum tipis sambil menaikkan kacamataku. Lalu gadis itu langsung menatap ke buku catatannya lagi.
Kurasa aku menyesal karena pernah meneleponnya setiap hari di pertengahan malam. Seandainya dulu aku tidak meneleponnya terus-menerus, mungkin sekarang kami akan bersikap baik-baik saja seperti biasanya. Tidak saling diam seperti ini.
Tidak saling mengabaikan.
Padahal aku tahu kami memiliki rasa yang sama. Maaf, bukan berarti aku terlalu percaya diri akan hal ini, tapi itulah fakta yang aku selalu tahu. Aku tidak mau menganggap Artha munafik karena sulit mengakui perasannya. Aku paham gengsinya begitu tinggi.

KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 2.0] Jakarta: The Next Year
Teen Fiction[The Jakarta Series 2.0] JAKA Memasuki tahun ajaran baru, periodeku menjabat sebagai Ketua OSIS juga akan habis. Itu artinya, tugasku dengan Artha sudah hampir selesai. Dan kurasa, itu juga jadi satu alasan bagi hubungan kami juga ikut selesai. Aku...