Artha
“Mau saya antar pulang, atau mau hangout?”Aku belum duduk dengan sempurna di kursi sebelah kiri, tapi pertanyaan itu sudah diajukan. Aku diam membisu, melihat Mas Haris yang tersenyum ke arahku. “Kalau hangout, ke mana?” tanyaku.
Mas Haris mengedikkan bahu. “Ya, terserah. Kamu mau cari tempat makan, atau mau jalan-jalan,” katanya. Jadi sambil mobilnya melaju untuk berputar balik ke jalan Raya Bogor, kami berdiskusi tempat makan mana yang sekiranya menarik untuk kami singgahi pagi ini.
Tujuannya adalah di sekitaran Margonda Depok. Yang paling mudah dan banyak pilihan. Dan, pilihan kami akhirnya jatuh pada kafe Warunk Upnormal di daerah Margonda. Sekitar pukul sebelas, tempatnya belum terlalu ramai sehingga kami dapat bebas memilih di mana mau duduk.
Mas Haris dan aku duduk di meja paling pojok yang dekat dengan jendela ke luar. Tnpa berbasa-basi banyak, kami langsung memesan makan, dan mengobrol selagi menunggu pesanan tiba di meja.
“Jadi, gimana Jaka?” tanya Mas Haris. Aku menggeleng. Aku tidak tahu ke mana Jaka pergi, dan di mana ia sekarang. Bahkan, aku tidak tahu apakah Jaka ingat kalau ia punya janji denganku hari ini. Yah, padahal Jaka yang mengajakku pergi, tapi ia sendiri yang mengingkarinya.
“Akhir-akhir ini Jaka emang suka pergi tanpa kasih tau ke mana. Dia juga enggak cerita apa-apa sama saya. Padahal dulu selalu cerita,” ujar Mas Haris. Aku mendengarkan. “Tentang kamu, tentang Billa juga pernah. Apalagi kalau di OSIS kalian berantem pas dikasih tugas, Jaka suka bener-bener galau.”
Aku tertawa. Sebegitunya? Tapi, kurasa Mas Haris benar. Aku juga sering melihat Jaka bad mood setelah ia berkelahi denganku karena tugas di OSIS. Biasanya kalau sudah seperti itu, Jaka tidak akan meminta bantuanku lagi untuk mengerjakannya. Aku hanya akan hadir di ruang OSIS dan menyaksikannya mengetik banyak-banyak, berpikir sendiri, dan bertanya-tanya kepada guru juga sendiri.
Cap saja aku sebagai wakilnya yang jahat. Namun, coba saja pikir. Siapa yang tidak kesal kalau setiap mengerjakan sesuatu, ada saja masalahnya. Hampir di setiap tugas, punya masalahnya masing-masing, dan punya kenangan tentang kelahi yang berbeda-beda.
Tapi aku rindu masa-masa itu. Sudah pernah kubilang, saat sertijab, aku takut Jaka hilang setelah kami sudah tidak menjabat, hanya karena kami tidak akan terlibat lagi dalam satu tugas yang harus dikerjakan bersama.
“Soal Mas Haris sendiri gimana?” tanyaku di pertengahan ceritanya tentang Jaka. “Artha bosen ngomongin Jaka. Lagi malas ngebahas dia.”
Mas Haris terkekeh. Senyumnya mengembang tipis. “Gimana apanya?”
“Ya ... apa aja. Mas Haris ‘kan baru-baru ini munculnya. Dulu-dulu, Jaka enggak pernah cerita soal Mas Haris. Pertama kali tau Mas Haris juga waktu Artha nelepon itu,” kataku.
Mas Haris menceritakan sedikit tentang dirinya. Soal ia berkuliah di Universitas Pancasila. Di tahun pertama kuliahnya, Mas Haris masih tinggal bersama kedua orangtua dan adik laki-lakinya di daerah Munjul, dekat Cibubur. Namun, karena pekerjaan, Ayahnya mesti pindah ke Bandung, sementara Mas Haris masih harus melanjutkan kuliahnya di sini. Maka, jadilah sekarang Mas Haris tinggal dengan Jaka dan keluarganya.
Begitulah singkatnya. Kalau aku menceritakan semua yang Mas Haris katakan, akan terlalu banyak ceritanya. Lagi pula, roti bakarku sudah telanjur datang sehingga kami menjeda percakapan kami sebentar. Sebelum akhirnya kembali bicara sambil menikmati makanan.
“Jaka enggak pernah pacaran,” kata Mas Haris di tengah-tengah heningnya meja kami. Aku hanya memandang kepadanya sekilas. Kurasa itu tidak perlu dipertanyakan. “Pernah suka sama cewek, tapi dia waktu itu bilang ditolak.”
Aku tertawa pelan. Aku tahu siapa yang Mas Haris maksud. “Bukan ditolak, tapi dia salah nembak.”
Alis Mas Haris mengernyit sebelah. Membuatku tertawa semakin kencang. Aku kemudian menjelaskan kepadanya, tentang hari itu saat Jaka memberikan mawar putih kepadaku—yang seharusnya adalah untuk Billa.
“Nah iya iya, itu ceritanya. Waktu SMP dia bilang dia ditolak sama cewek yang dia suka tuh itu. Namanya Icha, katanya.” Mas Haris bicara lagi.
Aku mengangguk. “Namanya Ritha, tapi dia manggilnya Icha. Itu tuh Billa yang sampai sekarang masih Jaka ceritain,” jelasku. “Almarhum kembaranku.”
Senyum Mas Haris langsung pudar perlahan. “Oh, sorry to hear that,” katanya.
“Enggak apa-apa. Udah lama juga.”
Aku jadi cerita banyak kepada Mas Haris. Bahkan sampai aku tidak sadar, kalau selama kami makan siang ini, Jaka meneleponku dan spam balik di chat. Semuanya terabaikan, persis seperti semua telepon-telepon dan pesanku kepadanya tadi pagi.
Kemudian, sepulang dari Warunk Upnormal, aku tetap mengabaikan Jaka, sampai hari Minggu, sampai hari Senin.
+ + +
“Terus kemarin ke mana? Makanya jadi cowok tuh yang jelas kenapa sih! Kamu kamu yang ngajak, kamu yang janji, kamu juga yang batalin sepihak,” ucapku setelah Jaka bercerita kalau ia lupa membawa ponselnya. “Lagian masa iya dua ribu tujuh belas lupa bawa hape ke mana-mana.”
Jaka diam. Ia akhirnya melepaskan cengkeraman tangannya. “One more time I say, Artha. Maaf,” katanya dengan nada bicara benar-benar lembut. Aku tidak tahu ini kata maaf yang ke berapa kalinya untuk hari ini. “Aku enggak ngelakuin itu dengan sengaja. Serius.”
Aku balik menatapnya dengan tajam. Wajahnya tampak seperti ia benar-benar memohon agar aku memaafkannya. Tapi semudah itu? Lalu waktu yang kemarin sudah kusia-siakan hanya untuk menunggunya, bagaimana?
“Kamu belum jawab pertanyaanku, sih,” ucapku. Jujur, aku mulai jengah duduk di sini. Hanya mendengarkan ribuan kata maaf tanpa disertai penjelasan ke mana Jaka pergi. Untuk apa?
Jaka diam. “Beneran mau tau? Tapi—”
“Kalau aku nanya ya berarti aku mau tau. Kalau enggak mau tau, ngapain aku repot-repot nanya sih, Jak.” Aku benar-benar kesal. Entah kenapa. Bicara dengannya justru tidak meluruskan masalah, tapi meningkatkan amarah. “Apa susahnya sebutin kamu ke mana?”
Laki-laki dengan kacamata biru dongker ini menghela napasnya. “Billa,” katanya. “Maaf, Ar. Aku sering ke sana tanpa kasih tau kamu. Serius, aku enggak tau gimana caranya ngomong ke kamu. Aku takut kamu malah sakit hati kalau aku cerita soal ini.”
Aku mengangguk. “Sakit hati?” tanyaku, yang kemudian disusul dengan tawa mencemooh. “Banget, Jak.” Hanya sebatas itu yang kukatakan kepadanya. Aku langsung beranjak dari kursi yang kami tempati. Aku berlari meninggalkannya, meninggalkan gedung sekolah.
Dan menyadari Jaka tidak mengejarku adalah satu fakta yang membuatku semakin merasa sakit hati.
Kenapa Jaka harus menyembunyikannya? Padahal jika Jaka bilang dari awal, aku pasti selalu mengizinkannya pergi, dan akan selalu menemaninya ke sana. Atau Jaka sengaja melakukannya supaya aku tidak tahu bahwa Jaka masih pergi ke makam Billa? Supaya aku tidak tahu apa saja yang Jaka lakukan di sana? Supaya aku juga tidak tahu apa saja yang Jaka bicarakan kepada Billa?
Aku belum pernah menemukan laki-laki berengsek yang masih berhubungan baik dengan orang yang pernah disukainya beberapa tahun lalu, sementara kini ia sedang berdiri di sebelahku. Dan lebih buruknya, ia tidak menceritakan apapun. Seolah-olah ia memang menyembunyikannya.
Lalu apa kelanjutannya? Ia akan tiba-tiba gagal melupakan orang tersebut, lalu meninggalkanku? Klise.
Aku tahu, Jaka meninggalkanku karena Billa adalah suatu ketidakmungkinan. Dan di sanalah letak menyakitkannya. Ketika Jaka masih terus-menerus bilang kalau ia akan berada di sebelahku, sementara di belakang punggungku, Jaka menemui seseorang dari masa lalunya.
Lebih baik aku meninggalkannya atau ditinggalkan, daripada berada di posisi seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 2.0] Jakarta: The Next Year
Fiksi Remaja[The Jakarta Series 2.0] JAKA Memasuki tahun ajaran baru, periodeku menjabat sebagai Ketua OSIS juga akan habis. Itu artinya, tugasku dengan Artha sudah hampir selesai. Dan kurasa, itu juga jadi satu alasan bagi hubungan kami juga ikut selesai. Aku...