JAKA
Aku tidak bisa melupakan bagaimana Artha menyatakan bahwa ia sakit hati. Banget, Jak. Setelahnya, aku tidak diberikan kesempatan untuk bicara lagi. Artha langsung beranjak pergi, dan lebih bodohnya, aku tetap diam.Salah besar jika aku tetap bersikeras mengejarnya, ‘kan? Ketika emosinya sedang dalam masa-masa kacau seperti ini, yang ada Artha akan tambah marah. Dan aku tidak tahu risikonya sebesar apa setelah ia marah. Jadi, lebih baik aku membiarkannya menenangkan diri sejenak.
Aku langsung pulang, dan tentu saja, aku tetap melihatnya ketika kami sama-sama menunggu bus di halte Matraman 1. Aku benar-benar tidak menyapanya. Kami juga benar-benar tidak bicara besoknya, besoknya lagi, dan keesokannya lagi.
Satu-satunya hal yang membuat Artha dan aku harus bicara lagi adalah kompetisi News reading. Satu hari sebelum kompetisi, Artha dan aku mendapatkan dispensasi untuk berlatih seharian di lab. bahasa Inggris. Bukan hanya Artha dan aku, tapi ada beberapa adik kelas lainnya yang berpartisipasi dalam kategori Speech dan Story telling.
“Jak, kamu cari partner lain aja, ya,” ucap Artha di tengah-tengah heningnya meja yang kami tempati. Kontan dua orang adik kelas yang duduk tidak jauh dari kami, menoleh. “I’m too lazy for this.”
Aku bisu menatap Artha. Sekarang maunya apa lagi. Setelah tidak mau bicara denganku, sekarang justru bicara begitu. Lagi pula, beberapa waktu lalu, Artha yang bersikeras ingin berpartisipasi dalam kompetisi News reading, dan bersikeras melibatkanku yang awalnya tidak mau sama sekali.
“Ini enggak akan ada artinya, Jak. Banyak english-addict di sekolah ini yang pengin ikut karena mereka bener-bener mau. Enggak kayak aku yang cuma buat pelampiasan.” Artha melipat kertas teks beritanya. “Doing it for Billa is not a good reason. Ini bukan kemauanku sendiri, Jak.”
Aku mengusap-usap bahunya pelan. “Kalau ini bukan kemauan kamu dari awal, kamu enggak akan ada di sini sekarang, Ar,” ucapku. “Lagian, kamu mau nyerah gimana? Kompetisinya besok, nama kamu udah tercatat sebagai peserta. Don’t run.”
Artha mengerlingkan matanya dengan jengah. “Kamu bisa ngomong kayak gitu. It’s because you love her, isn’t?”
Tidak meresponsnya lagi jadi pilihanku. Aku tahu ke mana arah obrolannya jika kujawab. Lebih baik aku diam, daripada Artha terus melanjutkannya, dan membahas lagi tentang Billa. Aku sadar kalau aku salah karena menyembunyikan semua ini dari Artha. Dan jelas, aku menyesal.
Semestinya aku memang mengatakan dari awal pada Artha kalau aku sering datang ke makam Billa.
Aku baru sadar, apa yang pernah Artha katakan padaku di salah satu telepon tengah malam kami, itu benar. Bahwa menyakiti perasaan seseorang yang kusayang, rasanya akan jauh lebih sakit daripada aku disakiti orang yang kusayang.
Gila.
Aku belum pernah berada di posisi seperti ini sebelumnya. Selama ini, aku hanya pernah menyukai Billa, lalu Artha. Aku juga belum pernah berpacaran sebelum dengan Artha. Jadi, aku berani mengaku bahwa ini adalah pertama kalinya aku menyakiti perasaan seorang anak perempuan.
Jika sebelumnya aku pernah, itu tidak dalam kesadaranku. Atau, aku tidak ikut merasa sakit hati karena yang kupatahkan hatinya bukanlah orang yang kusayang seperti Billa, atau Artha.
“Aku enggak janji bisa menang, Jak,” ucap Artha lagi. Punggungnya ia sandarkan ke belakang. Gadis yang duduk berhadapan denganku ini memandang balik ke arahku. “But how about you?”
Aku mengedikkan bahu. “I will make it, Ar. Aku enggak bisa bohong, aku bakalan berusaha buat—”
“Buat Billa.” Serta-merta Artha menginterupsi ucapanku. Aku mengangguk pelan kepadanya. “Aku juga berminat kayak gitu, Jak. Tapi apa? Aku baru sadar kalau ini bakalan sia-sia. Aku enggak mau berpartisipasi dalam kompetisi kalau cuma demi orang lain. Ini bukan kemauanku. Aku udah bilang.”
“Makan siang, yuk,” ajakku setelah kulirik arlojiku menunjukkan pukul sebelas. Menjelang siang. “Kamu mau makan apa? Ke kantin? Atau mau cari ke luar?”
Bosan sekali mendengar Artha mengeluhkan penyesalannya berpartisipasi dalam kompetisi. Semuanya tidak akan berujung kalau aku tidak memberi ujung. Ia akan terus bicara, buang-buang tenaga. Semua omongannya juga hanya akan berkutat di satu lingkaran yang sama.
“I’m sorry,” tuturnya. Aku hanya tersenyum. “Aku bakalan tetap ikut besok.”
Aku mengangguk. “Menang itu bukan kewajiban, Ar. Yang penting kamu bertanggung jawab sama tugas yang kamu ambil sendiri. Enggak ada yang bakalan nuntut kamu buat pulang bawa piala. Bahkan Billa enggak akan minta itu.”
+ + +
“Ar,” panggilku. Untuk yang kesekian kalinya. “Kamu enggak ada niatan damai sama aku?” tanyaku dengan suara lirih. Sambil terus mengikutinya berjalan di selasar lantai dua gedung.
Namun, bukannya meresponsku, Artha justru berlari ketika melihat temannya. “Antooonn!”
Itu Anton yang selalu menjadi partner Billa ketika berpartisipasi dalam kompetisi bahasa Inggris. Anton yang pernah kuceritakan pada Artha kalau aku bertemu dengannya di bus, tapi ia meninggalkanku tanpa menyelesaikan kalimat yang akan diucapkannya.
Yah, begitulah.
“Long time no see, Artha!” ujar Anton begitu Artha sudah berdiri dekat dengannya. Anton sempat melihatku, lalu tersenyum. “Jaka, kan? Kalian satu sekolah?” tanyanya. Aku hanya mengangguk, dan balik menunjukkan senyum kepadanya.
Artha menggeleng samar-samar. “Enggak, enggak. Gue enggak satu sekolah sama dia,” katanya. Aku hanya terkekeh kemudian menumpu telapak tanganku di atas kepala Artha. “Enggak usah sok kenal, stranger,” ujarnya lalu menyingkirkan tanganku dengan kasar.
“Galak,” tudingku.
“By the way, Jak. Yang waktu itu kita ketemu di busway, gue belum selesai ngomong,” kata Anton. “Lo inget enggak ya kita ketemu waktu itu?”
Aku mengangguk. “Iya. Enggak apa-apa. Lagian, Artha udah ngejelasin. Lo mau ngomongin Billa, kan?” aku bertanya memastikan. “By the way, udah mau jam delapan. Gue sama Artha News reading di ruang enam.” ucapku sambil menggenggam tangan Artha.
Sekilas, Anton melirik ke tanganku. Hanya sebentar, kemudian dialihkan lagi ketika aku segera pamit, dan menarik Artha untuk jalan mencari ruangan nomor enam di lantai dasar.
Kali ini, Artha tidak mengelak sekalipun aku menggandengnya. Meskipun aku tahu, Artha ngedumel.
“Kita kan urutan pertama, Ar,” ucapku sambil terus berjalan menuruni satu per satu anak tangga. Artha hanya bergumam acuh tak acuh. “Kalau terlambat dan malah didiskualifikasi, aku enggak mau ngomong apa-apa ke Mam Jenny.”
Artha berdengus. “Jadi kalau seandainya sekarang ini kita didiskualifikasi, itu salah aku?” tanyahya ketus.
Aku memperlambat langkahku sedikit, melihat wajahnya yang benar-benar bad mood. “Yah, enggak juga sih,” kataku. Artha tidak merespons lagi. Kami langsung masuk ke dalam ruangan, dan menempati kursi yang kosong.
Aku tidak pernah berpartisipasi dalam kompetisi News reading sebelumnya. Pertama kali mengikuti kompetisi bahasa Inggris, aku berpartisipasi dalam kategori Story telling, dan sisanya adalah Speech, sampai tahun kemarin akhirnya aku, Artha, dan Affan mengikuti kompetisi untuk menulis dan mempresentasikan esai.
“Ar, baca teks, kan?” tanyaku di saat sang moderator bicara di atas panggung. Artha hanya mengangguk. Aku tidak tahu kenapa kali ini jantungku berpacu jauh lebih cepat daripada biasanya. Aku yakin aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, meskipun aku naik ke atas panggung sendirian.
“Aku enggak mau nungguin pengumuman. Habis turun dari panggung, aku pulang,” katanya. Aku menatapnya, tidak percaya dengan ucapannya. Maksudnya, yah, tidak percaya kalau Artha akan benar-benar melakukannya. “I’m serious, Jak. Kalau kamu mau nungguin pengumuman, ya tungguin aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 2.0] Jakarta: The Next Year
Fiksi Remaja[The Jakarta Series 2.0] JAKA Memasuki tahun ajaran baru, periodeku menjabat sebagai Ketua OSIS juga akan habis. Itu artinya, tugasku dengan Artha sudah hampir selesai. Dan kurasa, itu juga jadi satu alasan bagi hubungan kami juga ikut selesai. Aku...