ARTHA
“Jadi, intinya?” tanyaku. Entah kenapa, aku benar-benar tidak bisa menahan senyumku, namun di sisi lain, aku juga kecewa. Sangat. Seperti matahari yang lamat-lamat tampak terbit di belakang kami, senyumku juga ikut terbit, samar-samar.Jaka berdesah. Ia berbalik, kemudian menggenggam cangkir berisi cokelat panasnya. “Ya aku masih nunggu keputusan kamu. If it ends, it ends. If it doesn’t, then it doesn’t,” katanya. Laki-laki itu menyesap cokelat panasnya. Yang kuduga sudah tidak sepanas saat aku membuatnya tadi.
“Kalau enggak, mau gimana?” aku bertanya lagi. Ikut berbalik sepertinya, ikut menatap langit dengan berbagai warna yang mencipta gradasi sempurna di sebelah timur. “Orang yang kecewa enggak akan mudah buat nerima lagi, Jak.”
Hening. Jaka tetap menyeruput cokelat panasnya dengan perlahan. Sejurus kemudian, napasnya ia embuskan dari mulut, membuat uap mengepul tipis. “Apa gunanya status?” tanyanya.
Aku hanya mengedikkan bahuku. “Buat pamer ke orang-orang, kadang. Buat kejelasan suatu hubungan, bisa juga. Atau ya ... karena status itu emang udah ada dari lama, dan enggak bisa disangkal.” Aku menjawab sekenanya.
Jaka tertawa. “Setiap hal yang sama enggak selalu dilakukan pakai alasan yang sama,” katanya. Aku mengangguk setuju. “Kalau kamu, alasannya apa?”
Senyumku perlahan memudar. Pandanganku masih tertuju kepadanya. Sementara Jaka sendiri, sudah mengalihkan pandangannya dari langit berbagai warna. Kini menoleh kepadaku, dan tersenyum. Ia menunggu jawaban.
“Aku takut kehilangan. I know you remember it, Jak,” jawabku. Jantungku berdebar, tiba-tiba. Memori kembali. Hari di mana Jaka dan aku jadian, yang mana adalah juga hari pelantikan pengurus OSIS yang baru. “Tapi ternyata, status enggak ngasih kepastian apa-apa tentang memiliki dan kehilangan. Buktinya, aku enggak memiliki, tuh.”
“Kalau gitu, gimana kalau kita coba ulang semuanya?” tanyanya. Aku mengangkat sebelah alisku. Mengulang semuanya? Apa yang dimaksud dengan semuanya, aku tidak tahu. “Nanti hari Minggu pagi, aku jemput kamu, dan kita bakalan pergi. Ke manapun itu.”
Aku mengedikkan bahu. “Ke Jakarta?” tanyaku.
Jaka mengangguk. “Selalu ke sana,” katanya. Ia kembali menatap langit yang sudah semakin terang. “Jakarta bukan sekadar hometown buatku, Ar. It’s more than just a memory. Ada suka, ada duka, ada kamu juga.”
“Jaka,” panggilku. Laki-laki di sebelahku hanya bergumam. Senyumnya masih mengembang benar-benar manis. Lesung pipitnya terlihat tegas. “Artha. Isn’t it sounds like Jakarta?”
Senyum Jaka mengembang semakin tegas.
+ + +
“Ini biar apa sih bawa mobil, bikin macet Jakarta, tau enggak,” sungutku sambil melangkah masuk ke dalam mobil yang Jaka kendarai. Ia tidak merespons apapun selain senyum tipis. Aku segera menarik safety belt, kemudian mobil mulai melaju pelan menyusuri jalan.
Kami tidak mengobrol banyak setelah mobil melaju. Justru aku membuat mobil berisik dengan menyanyi seiringan dengan musik yang Jaka setel. Sederet lagu-lagu hit di kalangan remaja. List lagu yang tidak mungkin tidak diketahui banyak orang.
“Jak, ke Billa yuk,” ajakku, sebelum mobil yang kami tumpangi berbelok ke arah jalan Raya Bogor. “Kangen Billa.”
“Sebentar aja, ya,” katanya. Aku hanya mengangguk. Mobilnya kemudian berbelok ke kanan, ambil arah ke Jalan PKP, kemudian menuju ke Pondok Rangon lewat Cipayung dan Cilangkap. Sebelum kami benar-benar tiba di pemakaman pun, Jaka izin padaku untuk singgah sebentar ke toko bunga.
![](https://img.wattpad.com/cover/113493408-288-k318134.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 2.0] Jakarta: The Next Year
Fiksi Remaja[The Jakarta Series 2.0] JAKA Memasuki tahun ajaran baru, periodeku menjabat sebagai Ketua OSIS juga akan habis. Itu artinya, tugasku dengan Artha sudah hampir selesai. Dan kurasa, itu juga jadi satu alasan bagi hubungan kami juga ikut selesai. Aku...