BAB 17 Ⅱ Jaka

2.3K 329 13
                                    

JAKA
“Teleponku kenapa dimatiin?” tanyaku begitu aku melihat Artha datang di halte Flyover Raya Bogor. Artha memandangku tanpa berkata apa-apa. Kuulang pertanyaanku, “Teleponku kenapa dimatiin, Artha? Aku belum sempat jawab pertanyaan kamu, dan kamu udah matiin gitu aja.”

Artha mengedikkan bahunya, “Nanti deh, males bahasnya,” katanya, lalu beranjak ke dalam bus yang baru saja berhenti di depan pintu halte.

Kami duduk bersisian, seperti biasanya jika sama-sama mendapatkan kursi kosong. Yah, bus lumayan sepi pada awalya, sampai tiba di halte PGC 1, barulah banyak penumpang yang masuk sehingga mulai banyak yang tidak kedapatan kursi untuk duduk.

“Nek, silakan.” Refleks aku menoleh ketika mendengar Artha bicara. Gadis itu sudah beranjak dari kursinya. Lebih tepatnya, memberikan kursi yang ditempatinya kepada seorang nenek yang berdiri tidak jauh dari tempat kami duduk.

Aku ikut beranjak ketika kusadari nenek tersebut tidak sendirian, melainkan bersama suaminya. Kedua orangtua itu tersenyum kepada kami. “Makasih ya, Nak,” tutur si Kakek. Artha dan aku hanya tersenyum dan mengangguk. “moga-moga langgeng.”

What.

Aku benar-benar ingin tertawa mendengarnya, tapi aku tidak enak. Alhasil aku hanya tersenyum lagi. Namun di luar dugaanku, Artha tidak hanya tersenyum, melainkan memberikan jawaban: “Iya, aamiin.”

Kemudian menit-menit selanjutnya, Artha malah bercakap-cakap dengan Nenek tersebut sampai bus yang kami tumpangi tiba di pemberhentian terakhir di halte Kampung Melayu. Kami sama-sama turun, kemudian berpisah di halte berhubung tujuannya berbeda.

“Orang, enggak tua enggak muda, selalu lebih seneng berprasangka ya, Jak,” ucap Artha. Aku melengos kepadanya yang berdiri di sebelahku. Artha tetap memandang ke jalan raya, lalu menarik sudut bibirnya ke atas. “Kayak mereka tadi. Padahal enggak ada tandanya sama sekali kalau kamu sama aku pacaran. Tau-tau didoain langgeng.”

Aku tersenyum. “Enggak banyak orang yang mau ngerepotin dirinya buat nyari kejelasan sesuatu, Ar. Apa yang dilihat itu apa yang dinilai. Karena enggak ada orang yang bisa lihat isi hati orang lain. Soal hati, itu urusan orang itu sendiri sama Tuhan.”

“Tapi kan, yang kelihatan di luar itu belum tentu apa yang sebenarnya. Don’t judge by its cover, Jak.”

Aku mengerlingkan mataku. “Gini,” kataku memulakan penjelasan. Sambil memberikan penjelasan lebih lanjut kepada Artha, aku meraih tangannya, kemudian sama-sama melangkah masuk ke dalam bus. “Coba, kalau kamu lihat dua orang cewek cowok gandengan tangan kayak gini, apa yang terlintas pertama kali di pikiran kamu?”

Artha mengedikkan bahunya, lalu ragu-ragu menjawab, “Mereka pacaran.”

“Padahal mereka belum tentu pacaran. Tuh, kamu juga judge by its cover,” kataku. Aku melepaskan genggaman tanganku, kemudian tersenyum kepadanya. “Cover itu penting, Ar. Karena semua orang pasti lihat dari luar pada awalnya.”

“Termasuk kamu?” tanyanya. Aku mengangguk. “Apa yang kamu lihat dari aku?”

Aku hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya.

+ + +

Sampai siang, kami tidak jadi membicarakan kenapa Artha mengakhiri teleponnya semalam. Aku ingin bertanya lagi, tapi aku selalu ragu. Aku takut mood baiknya hari ini justru buyar karena satu pertanyaanku. Jadi, pada akhirnya aku yang harus mengalah.

Aku membiarkan Artha lupa dengan pertanyaanku tadi pagi. Mungkin juga lupa dengan teleponku semalam. Yah, dan aku juga belum memberikan penjelasan ke mana aku pergi di hari Minggu. Saat aku pergi itu, rupanya Artha ingin mengajakku keluar untuk refreshing. Namun sayangnya, aku tidak melihat satu pun telepon masuk darinya karena ponselku dalam mode silent saat itu.

Tuhan, semakin kacau saja semuanya.

“Ar, Sabtu nanti jalan-jalan, yuk,” ajakku di tengah-tengah tawanya dengan Ranita. Artha langsung berhenti tertawa, dan menoleh ke arahku yang baru mengacaukan gosip anak-anak perempuan. “Kan kemarin Minggu kamu enggak jadi keluar.”

Artha berbalik, kini duduk menghadap kepadaku. “Aku pergi, kok,” katanya.

“Sama siapa?”

“Emangnya kamu harus tau?” ia balik bertanya dengan nada menyebalkannya. “Kamu aja enggak ngasih tau ke mana kamu pergi pas hari Minggu. Masa kamu harus tau segalanya tentang aku, tapi aku enggak tau apa-apa tentang kamu.”

Sebagian anak perempuan yang tadi duduk melingkar, menoleh kepada Artha dan aku. Aku tidak menggubris satu pun tatapan mereka. Sejurus setelahnya, aku mengajak Artha untuk pulang sekarang.

“Aku ke makam,” kataku. Setelah kami melangkah lumayan jauh dari sekitaran ruang OSIS.

Aku melirik sedikit ke Artha yang berjalan di belakangku. Ia mengangguk pelan. “Udah tau,” katanya. “Aku pergi sama Mas Haris.” Gadis itu melanjutkan. Aku memperlambat langkahku hingga kami jalan bersisian. Aku tetap memandang Artha dalam diam.

“Aku mau nanya kamu ke mana, tapi keterusan. Ya mau gimana lagi, udah nyampe lokasi, masa pulang lagi,” katanya. Aku hanya menyungging senyum tipis.

Tidak bisa kusalahkan keputusannya. Salahku sendiri karena aku tidak menjawab teleponnya, kan? Salahku juga karena aku pergi ke makam Billa tanpa memberi kabar kepadanya. Yah, kalau ditanyakan kepada Artha juga jawabannya pasti semuanya salahku. She’s a ms. Right.

“Iya, Ar,” tuturku. “Hak kamu juga kamu mau ke mana sama siapa.”

“Berarti kalau aku sering pergi sama Mas Haris, enggak apa-apa?” tanyanya—yang lebih seperti menggodaku. Atau memancingku untuk cemburu? Yah, begitulah intinya.

Aku mengedikkan bahuku. “Asal tau pulang, enggak apa-apa.”

Hanya itu yang dapat kukatakan kepadanya. Namun, Artha tidak menyerah untuk mencoba membuatku kesal. Atau cemburu. Atau apalah yang diinginkannya.

“Tapi kata kamu, orang nilai apa yang dia lihat loh, Jak. Kalau orang lihat aku sama Mas Haris terus mereka judge kita pacaran, kamu enggak apa-apa juga?” tanyanya sambil tersenyum-senyum menggoda. Aku hanya menatap ke arahnya sekilas tanpa bicara apapun. “Wow. My beloved boyfriend is jealous!”

Aku langsung membungkam mulutnya agak tidak bicara lebih lanjut setelah satu kalimatnya yang satu itu. Namun meski begitu, Artha tetap berusaha melepaskan tanganku dari mulutnya, dan tetap berusaha membuatku panas dengan ucapan-ucapannya.

“Kamu juga, tuh,” ucapku, beberapa menit setelah aku melepaskan tanganku dari mulut Artha. Aku tersenyum sambil memandang ke atas. “My girlfriend is jealous too,” lanjutku.

“Cewek cemburu tuh wajar, Jak. Itu artinya pacar kamu beneran sayang dong sama kamu.” Artha melakukan pembelaan. Mendengarnya, aku justru tertawa. “Tapi tetap aja. Heart is not a toy, Jak. Enggak selamanya kamu boleh main-main. Mungkin sekarang kamu masih bisa kayak gini karena ... yah, Billa itu adikku. Tapi kalau nanti kamu enggak sama aku? Emangnya kamu yakin, pacar kamu di masa depan nanti bakalan terima sikap kamu?”

Aku menggeleng. “Kamu kan pacarku di masa depan,” kataku. “Sampai tahun depan, tahun depannya lagi, tahun depannya lagi, sampai sarjana, sampai kerja, baru nanti kita tinggal seatap.”

Melihat Artha langsung memperlihatkan pandangan sinisnya, aku tertawa. Tapi kemudian Artha juga ikut tertawa, sepanjang langkah kami menuju ke halte busway. Setelahnya, perlahan-lahan topik pembicaraan berganti dan terus berganti.

[TJS 2.0] Jakarta: The Next YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang