BAB 16 Ⅱ Artha

2.4K 341 12
                                    

ARTHA
Telepon kesembilan. Tidak terjawab.

Aku menyerah. Kuhentikan niatku menelepon Jaka. Aku menelepon ke nomor Mas Haris. Yah, meskipun awalnya aku hanya ingin bertanya ke mana Jaka pergi, tapi pada akhirnya teleponku tidak sebatas sampai di sana. Karena Jaka memang sedang tidak di rumah, aku jadi meminta Mas Haris yang menemaniku keluar.

“Jadi, mau ke mana?” tanyanya begitu aku mengunci safety belt-ku. Aku menggeleng pelan. Aku tidak punya tujuan. Karena yang kumau hanyalah keluar dari rumah dan menikmati hari Minggu. Hitung-hitung karena sudah free dari kompetisi bahasa Inggris yang kemarin usai.

Mas Haris menancap gas dengan kecepatan rendah, keluar dari jalan Cibubur III. Aku tidak tahu ke mana mobilnya akan melaju. Yang pasti, Mas Haris berbelok ke jalan PKP.

“Emangnya kenapa Jaka enggak bisa nemenin kamu pergi?” tanyanya, setelah beberapa saat mobil yang dikendarainya berhenti karena pertigaan yang lumayan padat.

Aku menggeleng. “Kayaknya, harusnya Artha yang tanya ke Mas Haris, deh,” kataku. Aku tersenyum tipis ke arahnya, namun ia hanya tertawa. Ia memijat pelipis kanannya pelan. “Emang ke mana dia?”

“Kamu enggak bakal mau denger jawaban saya,” balasnya. Aku diam sejenak. Kurasa aku tahu ke mana Jaka pergi. Sampai tidak menghiraukan satu pun teleponku, lagi. “Nanti kamu tanya aja sama Jaka. Kalau dia udah kasih kamu kabar.”

Sarannya tidak kubutuhkan sama sekali.

“Ke Billa, ya?” tanyaku. Aku hanya memastikan. Mas Haris tidak menjawab apapun. Bahkan tidak mengangguk maupun menggeleng. “Kemarin Jaka dateng ke makam Billa waktu aku lagi di sana.”

Aku mulai menceritakan semuanya. Apa saja yang kukatakan pada Billa kemarin, apa saja yang kukatakan kepada Jaka, apa yang Jaka bilang kepadaku. Kupastikan aku tidak melewatkan sedetik pun yang kemarin Jaka lalui bersamaku.

Sampai laju mobil Mas Haris melambat di depan gerbang masuk ke Galeri Nasional, ceritaku terhenti. “Ke sini?” tanyaku.

Mas Haris mengangguk. “Enggak apa-apa, kan? habisnya kamu enggak punya tujuan. Jadi ke sini aja, ya,” katanya. Aku hanya mengangguk pelan, mengiyakan.

Aku tidak bicara lagi. Segera aku mempersiapkan diri untuk turun—pakai sepatu, merapikan ponsel beserta charger-nya, lalu memoles tipis bibirku dengan liptint. Begitu mobil Mas Haris sudah terparkir dengan rapi, kami turun.

Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Lagi pula, aku bukan penikmat seni, jadi aku jarang tertarik bepergian ke pameran atau museum seni.

Obrolan kami yang sebelumnya hanya berputar di topik yang sama tentang Jaka dan Billa, langsung terhenti begitu kaki kami melangkah masuk ke dalam gedung. Beberapa lukisan dan karya lainnya yang ada di sana kuabadikan melalui kamera ponselku. Aku beberapa kali berfoto bersama Mas Haris juga.

Rasanya seperti aku lupa kalau aku masih terikat hubungan dengan Jaka. Dalam seharian ini, selama berada di luar rumah bersama Mas Haris, aku benar-benar tidak menunggu pesan maupun telepon dari Jaka. Ponselku sudah dalam mode silent sejak beberapa jam yang lalu.

Jika Jaka tidak mencari dan membutuhkanku, kenapa aku harus susah payah selalu mengharapkannya? Bahagiaku tidak bergantung pada Jaka, bukan? Masih banyak hal-hal lainnya yang bisa membuat senyumku mengembang. Bukan hanya Jaka.

Selama ini, selama aku belum mengenal Jaka dan jatuh hati padanya, aku juga bisa selalu bahagia. Kenapa sekarang hanya kehilangan Jaka aku mesti merepotkan diri memikirkannya?

Jaka juga punya kesehariannya sendiri yang mungkin memang tidak mau ia bagi bersamaku.

“Mau ke Kota Tua, enggak?” tanya Mas Haris ketika kami melangkah keluar dari gedung A galeri nasional. “Kalau sore, biasanya kan ramai.”

Kota Tua lagi, Kota Tua terus.  Sebagai anak Jakarta, mungkin rasanya memang aneh jika belum pernah sama sekali pergi ke tempat yang satu itu. Yah, tapi Mas Haris benar, sore hari di Kota Tua memang biasanya ramai. Jadi, kenapa tidak? Senyampang lokasinya tidak begitu jauh.

+ + +

“Kita remaja, yang sedang dimabuk asmara....”

Beberapa menit setelah Mas Haris dan aku duduk di kursi persegi yang berjajar di Taman Fatahillah—di seberang Museum Fatahillah, sebuah nyanyian dari seorang anak kecil menginterupsi tawa Mas Haris dan aku.

Bocah dengan usia kira-kira enam atau tujuh tahun itu memetik ukulelenya dengan nada yang tidak sinkron dengan nyanyiannya. Namum meski begitu, lagunya tetap berlanjut. Lagu dengan judul Remaja dari grup HiVi!.

Ia tidak menyanyikan lagunya sampai benar-benar habis, kemudian Mas Haris dan aku sama-sama mengeluarkan uang untuknya. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Mas Haris tahu-tahu meminta bocah tersebut menyanyikan satu lagu lagi. Aku tidak mengerti, Mas Haris memintanya menyanyikan Asalkan Kau Bahagia milik Armada.

“Tapi mau ngasih lagi enggak, Bang?” tanyanya kepada Mas Haris.

Serempak, Mas Haris dan aku tertawa. Mas Haris menunjukkan senyum kepadanya, lalu mengangguk. Kemudian, anak laki-laki itu mulai memainkan ukulelenya dengan tidak beraturan lagi, dan mulai bernyanyi.

Tak jauh dari tempat kami duduk, ada juga sekumpulan orang yang mengamen. Bedanya, mereka satu grup, dan memainkan berbagai macam alat musik—yang sebenarnya aku tidak tahu apa saja. Yang pasti, di sana ada gitar, dan ada gendang. Menyanyinya juga lebih teratur, tidak seperti pengamen-pengamen kecil yang berkeliling di sepanjang Taman Fatahillah.

“Ar, mau cari makan, enggak?” tanya Mas Haris. “Yuk, biar enggak terlalu kemalaman juga nanti pulangnya. Besok kan kamu sekolah.”

Aku mengangguk, kemudian kami beranjak pergi dari Taman fatahillah.

+ + +

“Satu lagi unforgettable moment. Besok makin enggak bisa move on deh dari Jaka,” ujar Shafa sambil merapikan teks upacara yang barusan dikumpulkannya dari siswa kelas X-IPS-1. Aku hanya tersenyum sekilas menanggapinya.

“Emangnya siapa yang bilang Artha bakalan move on dari gue?” Jaka tahu-tahu menyeletuk. Membuat sebagian pengurus OSIS kelas sebelas maupun angkatanku tertawa karenanya. “Artha kan present and future-nya gue, kali.”

Aku mengerlingkan mataku, “Menjijikan banget sih, Jak.”

“Jijik-jijik juga kamu bukannya suka, ya?” balasnya. Aku hanya bergidik. Justru semakin jijik dengan omongannya. “Eh, udah ya, gue ke kelas.”

Jaka pamit, begitu pula denganku. Kami beranjak pergi, kembali ke kelas. Dan, yah, tebak saja. Bukan hanya mereka sang pengurus OSIS yang melontarkan kalimat-kalimat menggoda, tapi teman-teman sekelas pun sama. Apalagi Fikri, yang selama dua tahun terakhir ini selalu kami kenal sebagai satu dari sekian anak laki-laki yang cerewet.

“Tak terpisahkan ya kalian mah,” ujar Fikri begitu aku duduk di kursiku. “Ternyata lepasnya jabatan tidak mampu menggoyahkan dua hati yang telah bertautan satu sama lain,” katanya lagi.

Lantas beberapa orang yang duduk di sekitaran kursi Fikri dan aku, langsung tertawa mendengarnya bicara.

“Ngomong apa sih Fik.” Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Lalu tertawa bersama yang lainnya.

“Eh, emang lo enggak tau?” tanya Fikri sambil mendekatkan wajahnya, seakan-akan yang ingin diucapkannya adalah sebuah rahasia. Aku hanya menggeleng pelan sambil memundurkan wajahku. “Jaka dan Artha, couple goals dua ka tujuh belas.”

Mataku melirik kepada Jaka yang duduk menghadap ke belakang. Laki-laki itu juga tertawa. Membuat lesung pipitnya tampak dengan jelas, dan matanya menyipit di balik lensanya.

“Alay banget lo, Fik, sok kekinian ah dua ka tujuh belas. Macem ngerti aja lo.” Dari sisi lain, Ridwan menyahut, kemudian melemparkan karet penghapus yang mendarat tepat di kepala Fikri.

For your information, 2K17 maksudnya adalah 2000 ditambah 17. Yah, begitulah. Aku sudah sering mendengarnya dari mulut-mulut anak Jakarta. Tidak tahulah kalau di luar Jakarta ada yang seperti itu juga atau tidak.

[TJS 2.0] Jakarta: The Next YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang