ARTHA
Hari-hari jalan begitu cepat. Tidak terasa. Kalender di kamarku sudah kusilang angka-angkanya sampai tanggal dua puluh bulan ini—September. Dan hari ini, adalah hari yang sejak kemarin sudah ditunggu-tunggu. 21 September, libur dalam rangka memperingati tahun baru Hijriyah.Seharusnya, Jum’at tetap harus masuk. Namun, mungkin karena beberapa hal, sekolah akhirnya meliburkan. Dan itulah satu-satunya alasan kenapa sekarang aku berada di dalam mobil ini bersama beberapa pengurus OSIS kelas dua belas lainnya.
Kami akan berlibur sampai hari Sabtu.
“Ngeliat Jaka sama Artha duduk di depan berasa liat Mama sama Papa,” ujar Rendi yang duduk di kursi paling belakang bersama Reza dan Affan. Jaka yang tengah mengendarai mobil—milik Mas Haris—itu hanya tersenyum sambil melirik Rendi dari kaca spion dalam.
Shafa tertawa pelan. “Iya, Ren. Cocok.”
Aku hanya diam tak merespons. Diam-diam juga memandangi Jaka yang tersenyum-senyum bak orang salah tingkah. Percayalah, yang lucu bukan percakapan mereka, melainkan ekspresi Jaka.
“Eh, kita kalau lulus enggak boleh lost contact. Nanti kalau Jaka Artha bagi-bagi undangan kan kita mesti dapet,” ujar Rendi lagi.
“Undangan apa tuh?” sahut Jaka, masih dengan senyum yang mengembang di wajahnya. “Kalian mah, enggak diundang juga palingan dateng sendiri.”
“Enggak lah, masa dateng sendiri. Nanti gue udah bawa istri gue,” sahut Affan tak mau kalah berisik.
Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar tawanya. Sama dengan Jaka, ia tak henti-hentinya tertawa. Namun, tetap saja, laki-laki di kursi kemudi itu menyahut juga.
“Enggak bisa. Gue sama Artha nanti duluan di antara kalian. Biar kalau kalian tebar undangan, gue udah ada barengannya,” katanya.
Aku melirik ke spion dalam. Reza hendak menjawab juga. Namun, dengan cepat, aku menoleh ke belakang. “Eh, enggak boleh ngelangkahin Ketua,” kataku. Semuanya langsung tertawa. “Atau, nanti di satu hari yang sama, kita bakal naik ke pelaminan bareng-bareng.”
“Bareng-bareng? Nikah massal sama lo sama Jaka, gitu?” tanya Shafa.
“Enggak. Gue sama Artha pengantinnya, kalian tamu undangan. Kita foto bareng di pelaminan,” jawab Jaka cepat, kemudian menyusul tertawa. Aku memandang sejenak kepadanya, baru ikut tertawa. Aku juga ingin menyebutkan begitu, sebenarnya.
Pagi itu habis dengan senda gurau yang random. Bahasannya berganti-ganti, sampai siang tiba, sampai semakin lama suasana di mobil semakin hening. Sebagian besar sudah mendapatkan posisi nyamannya untuk tidur, dan sudah hanyut dalam mimpinya masing-masing.
Tinggal Jaka denganku yang masih bangun.
“Jangan tidur. Temenin aku sekalian kasih tau arahnya.” Begitu yang dimintanya sekitar setengah jam lalu ketika aku sudah mengerjap-ngerjapkan mataku. Padahal, Pandu tahu jalannya, dan mobil yang dikendarainya tetap berjalan di paling depan—memimpin dua mobil lainnya yang mengekor.
Aku memandang ke luar. Melihat motor yang saling adu cepat. “Aku udah lama enggak naik mobil ini,” kataku. “Aku sama Mas Haris udah enggak pernah keluar bareng lagi, Jak.”
Jaka berdengus. Sebagai ganti dari respons yang tidak serta-merta diberikannya. Aku hanya diam selama mobil masih hening. Sampai akhirnya Jaka yang memecahkan. “Iya, Ar. Aku udah enggak ke makam Billa kok.”
“Aku emang seharusnya enggak kayak gitu, Ar. I was wrong. I’m sorry,” tuturnya. Aku hanya mengangguk. Aku mengerti. Lagi pula, semua orang pasti pernah membuat kesalahan. Jaka termasuk. Aku juga termasuk orang yang pernah membuat kesalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 2.0] Jakarta: The Next Year
Fiksi Remaja[The Jakarta Series 2.0] JAKA Memasuki tahun ajaran baru, periodeku menjabat sebagai Ketua OSIS juga akan habis. Itu artinya, tugasku dengan Artha sudah hampir selesai. Dan kurasa, itu juga jadi satu alasan bagi hubungan kami juga ikut selesai. Aku...