BAB 10 Ⅱ Artha

2.7K 376 17
                                    

ARTHA
Upacara dalam rangka memperingati hari kemerdekaan usai dengan baik. Tidak ada satu pun sesuatu yang dievaluasi oleh kami para mantan pengurus OSIS kelas dua belas.

“Good morning, ladies and gentleman.” Kata-kata itu sudah ratusan kali keluar dari mulutku sejak beberapa hari silam. Aku benar-benar berlatih. Aku harus menyabet predikat sebagai pemenang tahun ini. Harus. Lagi pula, Jaka yang menemaniku nanti. Aku benar-benar yakin seyakin yakinnya kami akan menang.

“Make it real this year,” ucap Jaka yang tiba-tiba sudah jalan bersisian denganku, lalu melingkarkan tangannya di leherku. Aku menoleh kepadanya, melihat senyum dan lesung pipit khasnya tampak. Aku turut menunjukkan senyum. “Nobody will be by your side except me.”

Aku mengerlingkan mataku. “Enggak juga. Banyak orang yang ada di sisiku selain kamu,” sangkalku.

“Banyak, but I’m your only future husband,” balasnya dibarengi dengan seringaian tipisnya. Aku hanya menggeleng-geleng jijik dengan sikapnya. “By the way, mau langsung pulang atau di ruang OSIS dulu?”

Kali ini saja, aku lebih memilih untuk pulang. Aku terlalu lelah karena kemarin harus seharian berada di sekolah untuk memantau latihan para pengurus OSIS kelas sebelas, plus, kami menginap di sekolah. Lagi pula, paling-paling tidak ada yang kulakukan di ruang OSIS. Selain menyaksikan Jaka asyik dengan ponsel dan game-nya bersama anak laki-laki yang lain.

Oh, big no. Lebih baik aku pulang.

“Let’s go home ‘cause I need to take a rest,” jawabku. Jaka tidak membalas lagi. Lebih tepatnya, tidak menyangkal pilihanku. Jadi, kami langsung merapikan barang masing-masing, lalu pamit pulang kepada teman-teman yang lain.

Benar-benar pulang tanpa mampir ke manapun. Begitu tiba di rumah pun, Jaka tidak menyempatkan dirinya untuk masuk dan berbincang-bincang di dalam. Ia langsung pergi, katanya pulang.

+ + +

Beberapa hari terakhir ini, aku selalu berkutat dengan teks berita yang Miss Jenny berikan kepadaku untuk latihan. Kemarin sore, Miss Jenny bilang Jaka yang akan menjadi partner-ku untuk lomba akhir bulan nanti. Namun, entah kenapa aku malah jadi kurang yakin.

Begini. Di tahun terakhir kami di SMP, aku—yang menggantikan Billa—tidak memenangkan kompetisinya. Juga dengan Jaka. Yah, itu yang aku tahu, Jaka juga tidak memenangkan pidato yang dibawakannya. Aku ingat, saat itu, yang memenangkan pidato bahasa Inggris bukanlah Jaka, melainkan dua orang gadis dan seorang laki-laki—tapi bukan Jaka.

Kalau kami sama-sama ikut dan berada di dalam satu tim yang sama, apa untungnya? Sekalipun Jaka atau aku berpotensi, tapi kalau kami melakukan ini hanya untuk pelampiasan, kurasa lebih baik kami mundur sama-sama.

Percaya atau tidak, ini memang seperti pelampiasan. Aku tidak tahu mendiang adikku bisa melakukan hal segila ini. Membuat Jaka dan aku bak orang idiot yang mengejar-ngejar kemenangan demi dirinya seorang. Namun, betapapun, aku sudah berjanji akan memenangkan kompetisi. Jika itu bukan kompetisi di tahun terakhir SMP kemarin, maka kali ini aku harus memenangkannya bersama Jaka.

Ini kesempatan terakhir.

“Besok Sabtu, Ar,” ucap Jaka sambil melipat kertas teksnya yang sejak tadi dibacanya. Ia menaikkan kacamatanya sedikit, kemudian menatapku lekat. Aku tak melengos dari kertasku lebih dari dua detik. Aku bahkan hanya bergumam untuk meresponsnya. “Udah seminggu ini kita selalu baca teks yang sama. Let’s take a rest.”

Aku turut melipat kertas milikku, lalu balik menatap Jaka. “Terus mau ngapain?”

“Ya enggak tau, sih. Mungkin kamu ada rencana atau ada ide, kita pergi, gitu,” balasnya sambil mengedikkan bahu. Sebenarnya aku tidak ada niatan pergi ke manapun. Namun, jika Jaka mengajak pergi atau sejenak rehat dari latihan membacakan berita ini, kurasa tidak ada salahnya juga kami beristirahat.

“Enaknya ke mana?” tanyaku. Yah, barangkali Jaka juga punya ide. Toh yang memiliki gagasan untuk beristirahat dan pergi juga Jaka.

Jaka mengedikkan bahunya, lalu kami diam beberapa saat. “Ke Ancol yuk. Ke mana aja, kan banyak pantai. Looking for sunset,” katanya, setelah beberapa detik kami hanya saling tatap. Nah, benar kataku, Jaka sebenarnya punya tujuan. Dan kurasa aku tidak punya masalah dengan ajakannya. Jadi, kenapa tidak? Lagi pula, tempat rekreasi yang satu itu juga lumayan mudah transportasinya.

+ + +

Perjanjiannya, kami akan bertemu di halte Flyover Raya Bogor pada pukul sembilan. Aku mengajaknya pukul delapan karena takut terlalu siang, tapi katanya Jaka ada urusan yang tidak bisa diganggu gugat. Yah, jadi aku yang harus mengalah.

Juga aku yang harus menunggu.

Jam digital di ponselku sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima puluh, tapi Jaka tidak terlihat juga. Laki-laki itu tidak mungkin terjebak macet karena ia bisa jalan kaki dari rumahnya ke sini. Tidak mungkin juga belum bangun karena Jaka sudah konfirmasi tadi pagi-pagi sekali bahwa kami fix akan pergi hari ini.

Tapi Jaka belum kelihatan batang hidungnya.

Aku sudah berulang kali meneleponnya, tapi tetap tidak ada jawaban. Spam chat-ku juga tidak satu pun di baca. Ya Tuhan, Jaka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aku lama-lama jengah menunggunya. Persoalannya adalah, aku menjadi pusat perhatian karena sudah berdiri di sini hampir satu jam. Padahal, bus yang jalan ke arah Kampung Melayu sudah berulang kali terlihat, dan aku masih berdiri di satu titik yang sama seperti orang hilang.

Jaka ke mana?

Lebih menyebalkannya, rintik hujan mulai turun, semakin lama semakin merata membasahi aspal. Sial. Jaka belum mengangkat teleponnya, sementara hujan malah turun semakin deras. Tidak mungkin aku harus angkat kaki dari sini dan hujan-hujanan demi pulang ke rumah.

“Iya, halo.” Akhirnya, telepon ke-32 diangkat. Tapi, suara ini bukan Jaka. Aku tahu ini Mas Haris. “Kenapa, Artha?”

Aku benar-benar ingin menangis. Sudah puluhan kali aku menelepon dan mengiriminya pesan. Semuanya tidak direspons. Sekalinya dapat respons, bukan Jaka yang merespons. Bisa bayangkan betapa aku kecewa mendapatkan respons dari Mas Haris?

Dengan tangis yang tertahan, aku berusaha menjawabnya. “Jaka ... Jaka ke mana?”

“Jaka pergi dari tadi pagi. Sekitar jam setengah enam dia udah jalan, tapi enggak tau mau ke mana,” katanya. Aku diam sejenak. Pukul setengah enam, dan ini sudah pukul sepuluh lebih beberapa menit. Gila. “Ini hapenya malah ketinggalan. Saya baru sadar. Saya pikir juga Jaka perginya sama kamu.”

Iya, Mas Haris. Seharusnya Jaka memang pergi denganku. Tapi sayangnya, tidak. Laki-laki itu hilang tanpa adanya kabar.

“Iya. Harusnya pergi sama Artha, tapi Jaka enggak datang-datang. Artha nungguin dari jam sembilan, tapi belum datang juga,” kataku. “Artha pikir Jaka masih di rumah.”

“Kamu di mana?”

Aku tidak berpikir apapun ketika Mas Haris mengajukan pertanyaannya. Kujawab seadanya, sesuai dengan nyatanya. Bahwa aku sudah menunggu lebih dari satu jam, di halte Flyover Raya Bogor, tanpa melihat Jaka di sekitar sini, dan tidak ada kabar dari laki-laki tersebut.

Hujannya juga semakin deras. Aku jadi semakin bingung harus pergi ke mana.

“Jangan ke mana-mana dulu, Artha. Hujannya makin deras.” Aku hanya bergumam ketika Mas Haris bilang begitu. Lagi pula, aku memang tidak bisa pergi ke manapun. Aku benar-benar terjebak di sini. Jaka sialan. “Sebentar, saya lagi cari kunci mobil. Teleponnya saya matiin dulu, ya. Nanti saya telepon lagi.”

Aku tidak mengerti lagi kenapa tiba-tiba Mas Haris mengakhiri telepon.

Namun, lima belas menit setelahnya, adalah satu waktu yang membuatku berpikir. Bahwa Mas Haris lebih baik ketimbang Jaka. Aku tidak mengerti kenapa. Mungkin karena posisiku sedang benar-benar kesal dengan Jaka, sehingga aku lebih senang kepada Mas Haris yang kembali meneleponku ketika mobilnya ada di seberang halte yang kini jadi tempatku berteduh.

“Mau saya antar pulang, atau mau hangout?”

[TJS 2.0] Jakarta: The Next YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang