BAB 07 Ⅱ Jaka

3K 443 15
                                    

JAKA
“Gue jadian sama Artha,” akuku begitu Mas Haris menanap gas untuk pergi dari kawasan rumah Artha. “Waktu nembak dia, sebenernya gue enggak tau apapun. Gue enggak bisa ngatasin sedihnya Artha, gue enggak punya ide, tapi gue malah nembak dia.”

Mas Haris mengangguk-angguk. “Yang Billa Billa itu, gimana? Jangan bilang lo pacaran sama Artha karena lo masih suka sama Billa.”

Dulu. Sewaktu baru memasuki kelas sepuluh, aku menyukai Artha karena mirip dengan Billa. Sejatinya, aku sempat ingin mendekatinya hanya karena Artha mirip dengan Billa. Sampai kudengar Artha bercerita tentang Gheo yang melakukan hal tersebut kepadanya, aku jadi berpikir.

“Udah enggak.” Aku menjawab. “Gue suka sama Billa itu sebatas suka. Beda sama Artha.”

Aku tidak bisa mendefinisikan rasa yang kumiliki untuk gadis itu. Yang selama ini kurasakan hanya, yah, begitu. Ketika melihatnya senang, aku akan turut senang. Dan ketika melihatnya bersedih, yang bisa kulakukan hanya berusaha untuk mengembalikan mood baiknya.

Kuceritakan kepada Mas Haris tentang Artha yang kemarin menangis setelah serah terima jabatan. Sampai sekarang, sebenanya aku tidak berani mendakwa bahwa Artha menangis memang karena harus punya jarak denganku. Namun bagaimanapun, yang dikatakannya seperti itu.

“Dia suka sama lo, Jak. Banget.” Mas Haris menyimpulkan. Aku mengangguk. Aku tahu itu.

+ + +

Setelah memanjatkan doa panjang, aku menaruh buket bunga mawar yang kubawa. Batu nisan dengan ukiran nama Ritha Arsabilla itu kuusap pelan, menghapus debu yang menempel di sana. “Cha, aku jadian sama Artha,” kataku. “But wait, kurasa aku bakalan mulai panggil kamu dengan panggilan yang sama kayak Artha. Billa.”

Aku menghela napas panjang. Senyumku mengembang tipis. “Aku enggak tau kalau perasaanku buat Artha bakalan bertahan sampai selama ini. She calls me cheap, dan aku enggak pernah peduli. Aku selalu bilang ke Artha, love is pretty crazy, dan ini dia, buktinya.”

Kakiku masih bersila dengan rapi. Jaket yang sejak dalam perjalanan tadi kukenakan, kini kudekap, erat. Aku mulai bercerita tentang Artha. Tentang apa saja yang kami lakukan selama ini, tentang apa yang selalu mengusik pikiranku, termasuk tentang momen di mana Artha menangis setelah setijab.

Ketika hadir dan bersimpuh lama-lama di sini, aku selalu berharap Billa masih ada, dan bisa duduk di sebelahku. Kami akan sama-sama berbagi cerita dan tertawa sama-sama, kan? Bahkan, seandainya Billa masih ada, mungkin aku tidak perlu bersikap layaknya orang yang mengemis-ngemis perhatian pada Artha.

Billa tidak akan melakukan semua itu. Entah dapat keyakinan dari mana, tapi aku benar-benar seyakin itu.

“Bil, dulu Artha enggak pernah percaya kalau aku sayang sama dia. Yang dia tau, dia cuma pelampiasan aku dari kamu. Maaf Bil, kakak kamu sempat kujadiin korban buat pelampiasan. Tapi ternyata, ini berjalan enggak seburuk yang kupikir. Sampai sekarang, Artha masih jadi the only one.

Di pertengahan cerita panjang kepada Billa, tiba-tiba ponselku bergetar. Nama Artha terlihat jelas di layarnya. Fotonya yang ia jadikan display picture di akun LINE-nya juga tampak.

“Jaka di mana? Ini Dhimas nyariin kunci ruang OSIS. Kamu yang pegang, ya?” tanya Artha begitu kuangkat teleponnya. Aku hanya bergumam sambil merogoh kocek, mencari kunci motor yang biasanya ada di satu gantungan yang sama dengan kunci ruang OSIS. “OSISnya Dhimas mau pada latihan buat tujuh belasan. Kamu enggak ke sekolah?”

“Iya sebentar lagi deh. Nanti aku samper kamu, terus ke sekolah,” kataku singkat. Artha hanya mengiyakan, kemudian mengakhiri teleponnya. Aku pamit pulang pada Billa, lalu meninggalkan TPU Pondok Rangon.

Sekolah sudah lumayan ramai. Mungkin karena memang sudah agak siang. Semuanya sudah ambil posisi di lapangan dan sedang latihan upacara ketika Artha dan aku datang. “Buka dulu Jak ruang OSISnya. Ambil teks sama bendera latihan.” Artha menarik tanganku, kemudian melangkah ke arah ruang OSIS.

Aku tak merespons ucapannya. Hanya kuikuti ke mana kakinya melangkah. Di depan ruang OSIS ada beberapa pengurus OSIS angkatanku, termasuk ada empat pengurus inti selain Artha dan aku.

“Lama banget datangnya nih pengantin. Udah dari jam sembilan padahal,” ujar Rendi sambil terus asyik dengan ponselnya.

Artha mengangguk-angguk menyetujui Rendi, “Tau ini Bapak negara, lama banget. Gue udah spam tapi semuanya enggak dibaca, coba,” katanya. Aku diam memandang balik ke arah Artha. Aku bahkan tidak tahu kalau Artha mengirimiku pesan.

“Iya deh iya. Gue lupa kalau hari ini mereka latihan. Gue juga tadi buru-buru jemput Artha terus ke sini.” Aku akhirnya menyerah. Berdebat pun tidak ada gunanya. Yang ada, nanti mereka malah curiga ke mana aku pergi selama tadi tidak memegang ponsel.

Lagi pula, hanya Tuhan dan aku yang tahu kalau aku pergi mengunjungi Billa tadi pagi. Yah, jujur saja, aku memang tidak bilang kepada Artha kalau aku pergi. Bahkan selama ini, setelah sekian seringnya aku pergi, Artha tidak pernah tahu aku hampir setiap pekan mengunjungi Billa.

“Jaka lama, ish!” satu-satunya hal yang membuat lamunanku buyar adalah Artha. Akibatnya, aku langsung mengambil bendera latihan dengan warna biru-putih yang ada di lemari khusus perlengkapan upacara. Aku segera keluar dari ruang OSIS, kemudian menyusul Artha ke lapangan.

“Sini Ar, lipat ulang dulu benderanya,” panggilku begitu gadis itu selesai membagikan teks upcara kepada satu per satu petugas yang ada di posisinya masing-masing. Artha langsung menghampiriku, kemudian meipat ulang bendera latihannya denganku. Selesai itu, lantas kuberikan benderanya kepada Ranita, yang bertugas membawa bendera di dalam pasukan pengibar.

Artha dan aku hanya menyaksikan latihan dari pinggir lapangan sambil banyak berbincang. Membicarakan hal-hal yang penting sampai yang paling tidak penting.

“Kapan ke Billa?” tanya Artha. “Terakhir ke sana udah lama banget kayaknya. Aku jarang bisa ke sana, Jak,” imbuhnya.

Aku mengangguk dan tersenyum, “Nanti dulu ya. Kalau lagi free, nanti ke sana,” jawabku.

“Hari ini free.” Artha langsung menjawab dengan cepat. Free, tapi hari ini adalah pengecualian. Tidak mungkin aku mengajak Artha pergi hari ini, dan membiarkannya melihat ada satu buket bunga yang tadi pagi kutinggalkan di makam. “Eh tapi kayaknya jangan hari ini, deh.”

Aku diam sejenak, memikirkan jawaban atau saran lain kapan bisa pergi dengannya. Namun, selama aku diam, gadis di sebelahku justru mengajukan pertanyaan. “Terserah sih. Jaka bisa kapan?”

“Kapa—”

“Yah, hujan!” suara salah satu siswi dari barisan pengibar bendera menginterupsi ucapanku. Hujannya tidak tanggung, langsung turun dengan deras. Sebagian besar yang ada di lapangan langsung berlari ke selasar, sementara Dhimas gegas menurunkan bendera latihan yang masih ada di ujung tiangnya.

Well done. Geraknya cepat juga. Tanpa menyuruh dan repot-repot meminta tolong kepada temannya yang lain, ia langsung membongkar sendiri tali yang sudah tersimpul rapi di bagian bawah tiang bendera. Tak lama setelah Dhimas menarik turun benderanya, ada dua orang lagi yang turut membantunya mengambil bendera.

“Ar, ruang OSIS aja yuk.” Aku beranjak dari kursi yang kami tempati, kemudian pergi dari selasar. Artha langsung ikut beranjak, dan berlari ke arahku. Tidak, gadis ini tidak hanya berlari mengejarku, tapi secara tiba-tiba melompat ke punggungku tanpa ada sedikit pun aba-aba terdengar. Refleks aku mengumpat saking terkejutnya.

“Enggak berat, kan?” tanya Artha dengan polosnya. Aku hanya tersenyum tipis sebagai respons, tapi gadis di punggungku ini langsung menepuk punggungku lumayan keras. “Beratku kan cuma 44 kilogram.”

Aku tertawa pelan, kemudian menoleh sekilas ke arahnya, “Aku enggak bilang berat juga, lagian.”

[TJS 2.0] Jakarta: The Next YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang