BAB 08 Ⅱ Artha

2.8K 437 8
                                    

ARTHA
“Hujannya enggak berhenti-berhenti, ih.” Setelah hampir tiga jam benar-benar bosan hanya duduk dan mengobrol di ruang OSIS, aku mengintip sedikit ke luar. Rintik hujan masih turun, bahkan kini jauh lebih deras daripada sebelumnya.

“Ya elah, Ar, besok masih Minggu, santai aja sih,” sahut Affan—yang sedari tadi asyik dengan game online-nya bersama Rendi, Jaka, dan beberapa anak laki-laki lainnya. Mereka sih asyik ada game, salah satu kebutuhan paling penting bagi anak laki-laki.

Belum lagi, setiap sedang berkumpul seperti ini di ruang OSIS, merekalah orang-orang yang menguasai stop kontak, serta Wi-Fi ruang OSIS dan perpustakaan. Lalu kami yang anak perempuan hanya disuruh mendengarkan keramaian mereka yang heboh setiap kali di permainannya ada musuh, atau mereka kalah.

Jaka juga termasuk. Maka dari itu akhir-akhir ini aku mulai melarang Jaka untuk menggenggam ponsel setiap kali sedang bersamaku. Apapun alasannya, kecuali ada telepon masuk dari orangtuanya. Karena kalau tidak seperti itu, aku akan kalah saing dengan game-nya.

Tapi di beberapa momen, aku tidak akan pernah bisa mengganggu gugat Jaka dengan game-nya. Seperti sekarang. Jadi, setiap kali kumpul di ruang OSIS, mereka—anak laki-laki—pasti akan berkumpul di dekat stop kontak, lalu sibuk dengan game-nya.

Lima menit, sepuluh, lima belas menit, baru aku sadar kalau hujan sudah agak reda. Itu pun karena Ranita mengajak Dhimas untuk segera pulang.

Aku melengos dari ponselku, melihat laki-laki dengan kacamata biru dongker tersebut masih memandang lurus ke layar ponselnya. Sejatinya, aku mau pulang secepatnya. Namun, aku merasa tidak enak jika harus mengganggu Jaka.

Tapi aku tidak bisa bertahan lama. Melihat satu per satu pengurus OSIS kelas sebelas pulang, aku juga ingin pulang. Jadi dengan sangat terpaksa, aku mengajak Jaka pulang. Bisa tebak apa reaksinya?

Laki-laki itu menoleh kepadaku—mengabaikan game-nya sejenak sampai ditegur oleh Affan—lalu hanya bertanya, “Bisa nunggu lima menit lagi, enggak?”

Sebenarnya aku bisa. Hanya lima menit, itu bukanlah waktu yang panjang jika aku gunakan untuk segera bersiap. Tapi aku menggeleng kepadanya. “Mau pulang sekarang.” Hanya tiga kata tersebut yang kukeluarkan, tapi sukses membuat Jaka langsung mengembalikan tampilan layar ponselnya jadi homescreen.

“Ya udah, sebentar. Siap-siap dulu,” katanya sambil melepaskan charger dari ponsel dan stop kontak.

“Lah? Lah anjir Jak. Lagi asyik lo malah out,” ujar Rendi. Aku hanya menjulurkan lidahku kepadanya. “Sebentar lagi menang padahal.”

“Gue mendingan kalah mainnya daripada Artha yang ngambek, Ren,” kata Jaka sambil mengenakan jaketnya. “Game-nya bisa diulang dari nol terus menang lagi. Tapi Artha sekali ngambek, balikin mood-nya ngerepotin.”

Aku hanya mengerlingkan mataku dengan jengah. Segera aku pamit pulang kepada semuanya yang masih ada di dalam ruang OSIS, termasuk kepada pengurus kelas sebelas yang masih ada sebagian.

“Mau makan kan kamu, bukan mau pulang,” ujar Jaka begitu kami beranjak agak jauh dari ruang OSIS. Aku yang memimpin jalannya hanya menoleh ke arahnya dan senyum. “Tau banget aku.”

Aku langsung memeluk lengannya, “Jaka peka, deh,” godaku. “Idamannya akuuu.” Melihatnya mengerlingkan mata sambil komat-kamit meledekku, aku malah tertawa.

“Lagi butuh enggak usah sok-sok ngomong idaman-idaman, deh,” balasnya sambil melepaskan tangannya dari dekapanku. Gantian Jaka yang merangkulku erat, kemudian tertawa. “Nanti giliran enggak butuh akunya disia-siain. Sering-sering gitu biar apa?”

“Biar apa kek udah gede.”

Jaka menatapku dalam diam. Aku hanya balik menatapnya. Tak lama, kemudian kami sama-sama tertawa sepanjang jalan menuju ke parkiran tempat di mana Jaka memarkir motornya.

+ + +

Sudah lebih dari tiga puluh menit aku hanya mendengarkan nada sambung, tapi tidak satu pun teleponku diangkat. Bolak-balik aku melirik ke arah jam dinding, namun selama apapun aku menunggunya, teleponku tetap tidak diangkat satu pun.

Alhasil aku beralih ke pesan. Aku memenuhi chatroom-nya dengan spam. Demi apapun, aku tidak bisa tidur, dan tidak akan bisa tidur sebelum Jaka merespons. Aku tahu ini sudah terlalu larut untuk tetap bangun, tapi tetap saja.

“Halo?”

Akhirnya!

“Ih Jaka, ke mana aja? Enggak biasanya jam segini enggak bangun denger telepon dari aku,” balasku.

“Jaka udah tidur, Ar. Lagian hapenya juga di-silent sama Jaka. Ini kebetulan aja saya lihat ada telepon karena saya yang belum tidur.” Oke, ini bukan suara Jaka, tapi Mas Haris. Aku hanya berdesah dengan berat. “Mau dibangunin enggak nih Jakanya?”

“Enggak usah deh, enggak apa-apa,” balasku. “Cuma mau ngobrol sama Jaka, Artha enggak bisa tidur.”

Sedetik setelah aku menyelesaikan kalimatku, tawa Mas Haris langsung terdengar. “Kangen midnight talks sama Jaka?” tanyanya. Aku hanya bergumam sebagai jawaban—yang kuharap bisa dimengerti oleh Mas Haris. “Tapi Jaka—”

“Tapi.” Aku menginterupsi lebih dulu sebelum Mas Haris yang melanjutkan kalimatnya. “Kayaknya Jaka enggak. He looks different,” kataku.

Mas Haris tidak bicara apapun. Aku juga diam. Bahkan, setelah beberapa detik telepon kami hening, aku malah mengakhiri teleponnya secara sepihak. Pikiranku mulai mengarah kepada hal-hal yang negatif. Percaya atau tidak, Jaka terlihat berbeda.

Mungkin orang lain tidak akan merasakannya, tapi aku merasakan dengan jelas perubahannya. Karena aku sudah sangat terbiasa dengan sifatnya, mungkin? Setiap hari kami ke mana-mana bersama, jadi sekecil apapun perubahan yang ada, semuanya akan tampak begitu jelas.

Pukul dua dini hari, aku masih tidak bisa memejamkan mataku lalu tidur. Aku sudah berbaring di ranjangku sejak beberapa jam yang lalu, tapi tetap saja aku tidak bisa mengistirahatkan mataku. Aku merindukan Jaka.

Aku bahkan tidak tahu bahwa aku bisa merindukannya, padahal kami baru berpisah kurang dari dua belas jam.

Dddrrttt ... dddrrrttt—

“Kenapa Mas Haris?” aku serta-merta mengajukan pertanyaan begitu kuangkat telepon dari kontak bernama Jaka.

“Jaka padahal,” balasnya dari seberang. Oh. Salah sambung. Kupikir Mas Haris yang menelepon. “Kamu kenapa nelepon?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan, meskipun aku tahu ia takkan melihatnya. “Kan kamu yang nelepon. Kenapa jadi aku?”

“Tadi. Tadi kenapa nelepon? Maaf tadi di-silent, jadi Mas Haris yang angkat,” ralatnya.

“Iya, aku tau kok Mas Haris yang angkat,” balasku. Jaka tak merespons. “Lagian enggak ada apa-apa. Aku cuma mau nelepon dan ngobrol aja.”

“Seenggak penting itu?”

Aku langsung bungkam mendengar jawabannya. Kurasa aku belum pernah mendengar Jaka bicara seperti ini padaku. Se-annoying itukah teleponku?

“Good night, Jaka,” ucapku, kemudian kuakhiri lagi teleponnya secara sepihak. Aku langsung menarik selimut. Aku memaksakan diriku untuk tidur. Tidak memedulikan telepon maupun pesan masuk dari Jaka meskipun jumlahnya mulai banyak.

Aku tidak tahu Jaka menelepon sampai berapa kali. Pokoknya, sampai telepon yang terakhirnya masuk, aku sudah tidur, dan benar-benar mengabaikannya.

Namun, paginya, bahkan sebelum aku bangun, laki-laki itu ada di rumah. Justru yang membangunkanku pagi ini adalah Jaka. Laki-laki dengan kaus hitam dan celana putih itu adalah satu hal yang paling pertama kulihat pagi ini, selain sebuah buket bunga berisi mawar merah dan putih.

Dengan kesadaran yang belum pulih, aku melihatnya duduk di pinggir ranjangku sambil tersenyum. “Ngapain? Itu apaan bunga?”

“Menyambut hari kemerdekaan Indonesia yang ke tujuh puluh dua, Ar,” katanya.

Oh. Iya, benar juga. Tapi aku baru tahu kalau Jaka sepeduli itu dengan hari kemerdekaan. Atau sebenarnya tidak, karena sejatinya Jaka hanya alibi.

[TJS 2.0] Jakarta: The Next YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang