BAB 19 Ⅱ Jaka

2.2K 337 18
                                    

JAKA
Gantian, Artha yang diam setelah kubilang begitu. Ia benar-benar tidak bicara apa-apa lagi. Saat aku membuka mulut hendak bicara lagi pun, Artha justru langsung berlari pergi. Entah turun ke lantai satu, entah masuk ke dalam kamar.

Sementara aku, memilih untuk tetap duduk di sini, memandangi langit yang perlahan-lahan merubah warnanya. Matahari bergeser seinchi demi seinchi. Detik, menit, jam berlalu. Artha tidak kembali duduk di sebelahku. Hanya ada es campur sisa minumnya yang baru habis tiga per empat gelas.

Aku menyandarkan punggungku, mengambil napas sedalam-dalamnya, kemudian mengembuskannya lagi. Perjalananku di sekolah menengah masih tersisa beberapa bulan lagi, tapi kupikir, aku sudah merusaknya, terlebih perjalanan milik Artha.

Maksudku, yah, aku tahu, Artha pasti kecewa mendengar pernyataanku tadi. Namun, jika tidak begini, aku tidak akan tenang. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami juga bukan tanpa berpikir. Aku sudah mempertimbangkan hal-hal yang memang harus dipertimbangkan.

Menjelang terbenamnya matahari, semuanya naik ke lantai dua, dan keluar. Semuanya berkumpul di sini, karena Pandu bilang, matahari terbenam akan terlihat indah dari sini.

“Jak, Artha mana?” tanya Shafa. Aku turut celingukan mencarinya. Artha tidak ada.

Aku tak merespons pertanyaannya. Lebih kupilih untuk segera beranjak dan mencari Artha. Ruangan pertama yang kutuju adalah kamar yang malam ini akan ditempati lima orang anak perempuan termasuk Artha. Perlahan, aku mengetuk pintunya.

Tidak ada jawaban.

“Ar, aku masuk,” kataku sambil memutar kenop pintu dengan penuh hati-hati. Artha ada di dalam. Tiduran di ranjang dengan posisi membelakangi pintu, dan selimut membalut tubuhnya sampai leher. “Ar, di luar yuk,” ajakku.

Aku melihatnya hanya menggeleng.

We need to talk,” kataku lagi sambil berjalan mendekat ke ranjang. Aku bercangkung di sisi kanan ranjang, sehingga kini wajahku sejajar dengannya. “Aku punya alasan dan ini bukan karena egoisku, Ar.”

Aku kembali berdiri, lalu kuulurkan tanganku. “Jangan bikin mereka nunggu, dan jangan sampai ketinggalan matahari terbenamnya, Ar. Bisa jadi, ini pertama dan terakhirnya kita lihat matahari terbenam sama-sama,” kataku. Artha hanya tersenyum tipis, sekadar sebagai jawaban. Ia tidak sama sekali menyentuh tanganku untuk beranjak keluar dari selimutnya. Justru, Artha langsung pergi begitu saja menghampiri yang lainnya.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain membiarkannya begitu. Daripada berdebat dan masalahnya jadi semakin panjang, aku lebih memilih untuk tidak bicara apa-apa lagi. Toh setelah keluar dari kamar, Artha bisa bersikap seakan-akan ia baik-baik saja.

Meskipun aku tahu ia tidak sebaik itu keadaannya.

Setelah menyaksikan matahari terbenam, semuanya turun, berkumpul di halaman belakang. Sudah tersedia berbagai macam makanan beserta dengan alat bakar-bakarnya. Dalam sisa malam ini, kami semua bakar-bakar jagung atau ayam, lalu bersenda gurau sampai satu per satu beranjak untuk tidur.

Begitu pula dengan Artha. Ketika teman-teman sekamarnya sudah masuk ke kamar semua, Artha ikut masuk. Entah mereka mulai bergosip atau benar-benar tidur. Aku tidak memedulikan.

Pukul sebelas, aku mendapat balasan chat dari Artha setelah dua jam sebelumnya aku mengirimkan pesan lebih dulu.

Jaka Almi Syahidan : Meet me at two. Wanna have another midnight talk with you.

Artha Risabilla : Liat nanti, kalau bangun.

Selama berjam-jam, aku hanya bermain dengan ponselku selagi menunggu jarum pendek menunjuk ke angka dua. Aku tidak bisa tidur. Pikiranku kalut. Semua yang terlintas hanyalah tentang Artha. Juga memikirkan bagaimana caranya mempertahankan hubungan baik dengannya. Kalau bisa, tanpa harus mengembalikan status berpacaran. Kalau tidak bisa, yah, mau bagaimana lagi. Pilihannya ada dua, dan setiap salah satunya memiliki risiko masing-masing.

And finally, aku mendengar suara pintu berdecit sekitar pukul satu lebih tiga puluh menit. Aku menyibak tirai di kamar yang kutempati bersama beberapa anak laki-laki lainnya. Meskipun di sini hanya ada Rendi yang tertidur, dan Affan yang masih asyik dengan game online-nya, sementara dua orang lainnya asyik dengan PS di lantai satu.

Artha keluar dengan berbalut jaket dan hanya mengenakan celana selutut. Ia berdiri di sana, di posisi yang sama dengan beberapa jam lalu saat kami menyaksikan matahari terbenam bersama-sama. Aku beranjak dari ranjang.

Too early,” kataku sambil jalan mendekat. “Dan terlalu dingin.”

Senyum Artha mengembang seiring kepalanya mengangguk-angguk. “I’m falling, Jak,” katanya. “By the way, hot chocolate, favoritnya kamu.” Ia menyodorkan cangkir putih berisi cokelat panas yang asapnya masih mengepul di udara. Aku hanya tersenyum.

“Selama kamu masih judge aku main-main, I’ll never start anything, Ar,” kataku.

Artha tertawa. “Semuanya emang cuma permainan, Jak. Kamu cuma akan berhenti main-main ketika kamu nyatain buat masuk ke hubungan serius sama seseorang. Pernikahan, misalnya,” katanya penuh yakin. “Enggak ada orang pacaran yang serius sama hubungannya. Kalau mereka serius, ya mereka enggak akan pacaran yang enggak jelas ujungnya, Jak.”

Aku mengangguk-angguk pelan mendengar teorinya. Boleh juga.

“Kalau gitu, aku enggak akan mulai apa-apa lagi, Ar,” tuturku. Artha tidak memberikan tanggapan apapun. “Is that okay?”

Artha mengacungkan kelingkingnya. “Everything will be okay, selama kamu tetap jadi Jaka yang kukenal,” katanya.

“Jaka yang kamu kenal tuh, gimana?” aku bertanya balik sebelum kutautkan kelingkingku ke miliknya.

Senyum Artha mengembang benar-benar lebar. Ia menghela napasnya. “An idiot. Satu-satunya orang yang selalu bilang kalau dia tergila-gila sama aku. Seorang Ketua OSIS yang sok membutuhkan wakilnya, padahal niatnya cuma modus. Satu-satunya cowok enggak tau malu yang hobi nelepon tengah malam. Satu-satunya cowok yang selalu dengan pedenya ngomong kalau dia ini future-nya aku.”

“Kamu suka?” tanyaku. Artha menggeleng, kemudian kelingkingnya berkutik. Sambil tertawa pelan, aku akhirnya menautkan kelingkingku. “Kalau kamu enggak suka, aku tetap suka. Gimana?”

“Tapi Jak, we’re nothing. Kamu mau main sejauh apa? Siang ini kamu mutusin aku, dan ... hell, malamnya kamu begini. I’m not a toy, idiot.” Artha melepaskan kelingkingnya dari tanganku. “Aku punya masalah sama kamu enggak pernah beres. Yang kamu lakuin itu cuma ngomong, dan lama-lama out of topic. Masalahnya enggak tuntas semua, meskipun seakan-akan udah fine. It’s not right, Jaka.”

Aku tertegun. Benar-benar tidak kusangka Artha akan bicara begitu. Seburuk itukah peranku? Hei, aku adalah hero di dalam cerita bersamanya. Tapi kenapa di sudut pandangnya, aku seburuk itu? Atau apa yang dikatakannya memang benar? Bahwa aku tidak pernah menuntaskan masalah.

Tuhan, aku semakin tidak mengerti permainan macam apa ini. Aku tidak tahu apa rencana semesta.

“Kasih aku kesempatan, Ar.” Hanya itu yang bisa kukatakan. Yah, mengatakan sebatas itu pun aku sebenarnya ragu. Tidak pantas sekali aku meminta kesempatan lagi kepadanya. Kerusakan yang kubuat tidak ringan, aku sadar.

“Kamu belum jawab apapun setelah aku ngajakin putus tadi siang, Ar. Apa kita bener-bener udah putus? Secara sepihak?”

[TJS 2.0] Jakarta: The Next YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang