JAKA
Aku hanya tertawa-tawa setelah mengatakan padanya bahwa bunga yang kubawa adalah dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-72. Jelas, itu hanya alasan tidak masuk akal yang baru saja terbit di pikiranku.“So I’m sorry,” tuturku sambil kutunjukkan senyum sepolos mungkin kepada gadis yang masih bersembunyi di balik selimutnya. “Keluar, yuk,” ajakku.
Bola mata Artha berputar. Kurasa kekesalannya semakin memuncak ketika kudengar ia bersungut, “Baru bangun gini malah diajak keluar. Orang kalau mau ke sini bilang kek, biar akunya mandi gitu.” Aku hanya tertawa pelan menanggapinya, tapi gadis ini justru melemparkan bantalnya ke wajahku, kemudian beranjak dari ranjangnya. “Udah sana, aku mau mandi.”
“Kamu enggak mandi juga enggak apa-apa, Ar,” balasku seraya meninggalkan buket bunganya di atas nakas. Namun, kurasa Artha tidak mendengarnya karena ia sudah keluar dari kamar, dan masuk ke kamar mandi yang berada tepat di sebelah kamarnya.
Aku jarang main ke kamar Artha, tapi setiap kali aku masuk ke sini, satu hal yang selalu dan pasti kulihat adalah ranjang yang ada di sebelah milih Artha. Well, kamar ini didekor benar-benar untuk sepasang anak kembar. Apapun yang kulihat di sini, hampir semuanya, minimal jumlahnya ada dua. Ranjang, meja belajar, lemari, dan semuanya tidak dipindahkan, meskipun Billa sudah tidak menempati kamar yang sama dengan Artha.
Nakas di sebelah ranjang Billa tampak jauh lebih rapi. Jelas, mungkin karena tidak pernah diacak-acak posisinya. Hanya dibersihkan. Ada sebuah pigura dengan foto Artha dan Billa. Keduanya mengenakan seragam SMP yang sama.
Billa menggenggam sebuah piala serta mengenakan medali biru di lehernya. Aku ingat, itu adalah piala kemenangannya beberapa tahun lalu di kompetisi story telling bahasa Inggris. Saat aku pertama kali bertemu dengannya.
“I know you miss her, Jak,” ujar Artha. Aku tak merespons. Hanya kulihat gadis itu masuk ke dalam kamar sambil menyisir rambutnya. “Jadi mau ke mana hari ini?” tanyanya. Artha gegas mengambil tas yang biasa dibawanya ke mana-mana, lalu keluar lagi dari kamarnya setelah ia merapikan tempat tidurnya.
Sebenarnya aku tidak tahu harus pergi ke mana pagi ini. Aku datang ke rumah Artha, membawakannya bunga dan mengajaknya keluar sebenarnya hanya untuk membuatnya tidak marah kepadaku karena semalam aku bersikap menyebalkan di teleponnya.
“I just want to have a chit-chat,” kata Artha sambil merapikan laptop dan tasnya. Aku hanya diam memandanginya sibuk bolak-balik. Begitu selesai, ia memandang ke arahku. “Bean and Brew, yuk.”
Aku hanya mengangguk, kemudian membawakan tas laptop yang sudah dirapikannya. Aku langsung mengeluarkan kunci motor, pamit kepada Bunda, lalu beranjak pergi ke kafe Bean & Brew yang berada tidak jauh dari rumah Artha.
Kalau mengerjakan tugas atau sekadar mengobrol sambil ngemil, kafe tersebut adalah favorit Artha. Aku tidak tahu sejak kapan Artha suka ke sana, yang pasti, aku baru tahu baru-baru ini. Lagi pula, kami memang hampir tidak pernah mengerjakan tugas bersama kecuali tugas di OSIS. Itu pun, kami biasa mengerjakannya di ruang OSIS.
“Pegangin, Ar,” ucapku sambil memberikan ponselku ke belakang. Artha tidak bicara apapun selain menerimanya. Aku langsung mengenakan helmku, kemudian melaju cepat ke arah kafe Bean & Brew di Jalan Jambore Raya.
Kafe yang berada di dalam satu tempat bernama Teras Rimbun ini lumayan sepi tiap kali aku datang. Kata Artha, biasanya ramai jika malam Minggu, dan banyak yang bermain biliar. Well, siang ini tidak terlalu ramai meskipun hari Minggu dan orang-orang libur. Namun, dari teras lantai dua kafe ini, ada beberapa orang yang menyaksikan pertandingan futsal antar dua tim yang tidak kukenal keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 2.0] Jakarta: The Next Year
Ficção Adolescente[The Jakarta Series 2.0] JAKA Memasuki tahun ajaran baru, periodeku menjabat sebagai Ketua OSIS juga akan habis. Itu artinya, tugasku dengan Artha sudah hampir selesai. Dan kurasa, itu juga jadi satu alasan bagi hubungan kami juga ikut selesai. Aku...