Seorang gadis yang mengenakan rok terusan panjang hingga semata kaki itu baru saja turun dari taksi. Kemeja putihnya di masukkan dengan rapi, rambutnya pendek -sepundak- ia menyeret kopernya memasuki sebuah halaman rumah mewah.
"Papi...., I'm coming,"riang gadis itu berlari memeluk Papinya yang telah menunggunya di depan pintu rumah. Pembantu yang juga telah menunggu dari tadi pun segera membawa masuk koper miliknya.
"Elisa, Papi kangen banget sama kamu,"Lelaki paruh baya itu melepaskan pelukannya kemudian mengelus-elus puncak kepala putrinya.
"Masuk yuk, Papi udah siapin makan siang khusus buat putri kesayangan Papi."
***
Mobil kecil itu terus melaju. Melewati jalan kecil yang di kiri-kanannya berderet ruko memamerkan berbagai hasil olahan dari kayu -rata-rata kayu jati- seperti lemari, kursi dan berbagai jenis meubel lainnya. Fatir mengamati wajah Adiba yang masih tertidur lelap. Butiran keringat terlihat di dahinya, sedikit membiru. Mungkin karena kebentur dashboard saat ada kucing mendadak nyebrang tadi.
Mobil itu berbelok lagi tepat di pertigaan lampu merah. Ke kiri, arah selatan kali ini berganti rumah-rumah minimalis yang berderet. Bentuk bangunannya berbeda-beda karena memang bukan kawasan perumahan. Berbelok memasuki rumah dengan pagar dengan tinggi 140 cm-an, sederhana pagar itu hanya tembok berwarna abu-abu tanpa gerbang. Ada jalan setapak menuju pintu, di sampingnya ada -garasi non permanen- yang tak memiliki gerbang.
Selama ini kawasan di daerah sini memang dikenal ramah. Maka kategori rumah seperti ini termasuk dalam kategori aman. Lain halnya jika rumah seperti ini ada di kota-kota yang banyak tindakan kriminalnya, mungkin mobilnya telah hilang sejak kemarin.
Adiba menggeliat, matanya mengerjap-ngerjap. Fatir telah menginjak rem-nya perlahan dan ia merasakan mobil itu juga perlahan berhenti. Ia mengucek-ucek matanya untuk melihat sekitar.
"Kita sudah sampai,"tanpa Adiba sadari Fatir telah terlebih dulu turun dan membukakan pintu mobil untuknya.
"Oh,"ia bergumam pendek. Jantungnya berdag-dig-dug dengan irama yang tak beraturan. Aduh! Aku harus gimana?
Fatir juga membuka bagasi mobil. Ia berniat menurunkan koper mereka, yup! Tangan mereka tak sengaja bersentuhan saat ingin mengambil koper yang sama. Saling bersitatap untuk beberapa detik, kemudian tertawa bersama. Hmm..., mirip adegan dalam drama-drama.
***
"Papi, besok aku boleh kan ikut ke tempat kerja papi?"Elisa meletakkan sendoknya. Ia masih mengunyah makanannya saat menanyakan hal itu.
"Eh ngapain? Kamu mau bantuin bersih-bersih?"nada Papinya bergurau. Sukses membuat pipi anak semata wayangnya itu menggelembung. Cemberut.
"Ih..., Papi ah."
"Becanda sayang. Iya kamu boleh ikut kok."
Mereka telah selesai makan siang. Pembantu di rumah itu segera datang dan membereskan piring-piring. Elisa telah melesat ke kamarnya, bukan untuk tidur. Tapi untuk memilih baju-baju mana yang akan dipakainya untuk menemui seseorang yang telah lama dirindukannya.
"Kamu mau ke mana El?"tanya Papinya ketika telah melihatnya mengenakan pakaian serba rapi. Dres merah jambu selutut, dengan lengan balon yang pendek. Highell 5 cm dan tas lengan kecil berwarna perak.
"Adalah..., mau ngunjungin temen,"jawabanya sambil cengengesan.
"Dah..., Papi,"ia hanya melambaikan tangannya. Papinya sedang memeriksa beberapa berkas -yang entah apa-.
Ia telah menunggu lama untuk hal ini. Wajar memang jika semangatnya mungkin terlalu berlebihan. Khusus untuk hari ini juga ia enggan menggunakan jasa sopir, menyetir sendiri menurutnya lebih leluasa.
***
To Be Continue :)
Yang udah baca mohon tinggalkan kritik sarannya jika berkenan. Mohon vote jika kalian benar-benar menyukai ceritanya, jika tidak maka tidak usah di klik vote. Karena author di sini murni ingin mengetahui respon pembaca untuk memperbaiki tulisan :)See you next part :)