Bab 10 (Menerobos Hujan)

1.8K 63 0
                                    

     Papa dan Mama Fatir baru saja memasuki rumah ketika itu pukul 19.10, mereka baru saja mengunjungi salah satu Wedding Organizer. Berniat akan memberikan resepsi kejutan untuk putranya.

     Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel dari dalam tas,"Wah! Fatir nelpon nih Pa!".
    
     Papa sudah mengambil posisi duduk pada sofa yang berada di ruang tamu. Membiarkan Mama yang mengangkat panggilan itu dengan berada di sebelahnya.

"Halo,"sahutnya senang,"Ada apa nih kok nelpon malam-malam gini. Apa ada tips khusus yang perlu ditanyakan?"

     Mama memandang ke arah Papa lalu mereka berdua tersenyum-senyum usil. Umumnya, hal yang menyenangkan dan lumrah memang menggoda pasangan yang baru menikah. Apalagi itu anak mereka sendiri.

"Ah! Bukan itu Ma,"terdengar suara mengeluh dari ujung sana,"Hari ini Elisa balik dari Amerika. Mama sama Papa belum denger?"

"Elisa?,"kedua alisnya terangkat.

"Iya Elisa, anaknya Om Ereon. Mama nggak lupa 'kan? Hari ini Fatir sama Istri mau ke sana, kalau Mama sama Papa nggak keberatan untuk ikut."

"Oke nanti Fatir ke sana buat jemput, Mama sama Papa siap-siap ya,"lanjutnya tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu.

Klik!
    
     Sambungan telepon itu ditutup setelah suara salam terdengar dari seberang sana.

***
     Adiba keluar rumah menggunakan gamis panjang berwarna krem. Polos, itu hanya gaun yang menjuntai hingga semata kaki dan ada ikatan di bagian pinggang rampingnya, namun tertutup oleh kerudungnya dengan gradasi warna lebih tua yang terulur hingga sepinggang.

    Ia berjalan kikuk di samping suaminya, mengingat ini adalah penampilan barunya. Ia memang telah memutuskan untuk mengenakan hijab, tapi belum sepenuhnya siap dengan peraturan berhijab yang seketat ini.

"Aduh, apa ini nggak berlebihan?"Adiba memainkan matanya dari ujung bawah hingga ke atas.

Fatir tersenyum menanggapi pertanyaan istrinya,"Nggak ada yang namanya berlebihan dalam menuruti syariat Allah sayang. Nanti akan ku jelaskan lebih lanjut tentang mengapa Mas menyuruhmu untuk memakai baju seperti ini."

     Mereka telah sampai di dalam mobil. Fatir duduk di belakang kemudi, sementara itu Adiba sebelumnya lebih memilih duduk di kursi belakang, tapi setelah Fatir "memarahinya" dengan kalimat,"Kamu pikir suamimu sopir, huh?!" Akhirnya gadis itu mau juga duduk di samping suaminya.

     Mobil itu melaju perlahan. Meski konsentrasi menyetirnya tetap terfokus penuh, ingatannya tiba-tiba melayang pada kejadian 12 tahun silam, saat itu usianya 17 seorang murid kelas 11 SMA. Ia anak penurut, masuk di jurusan ipa -saat itu- berarti bisa dikategorikan bahwa dia bukanlah murid yang bandel.

     Ketika sampai di depan pintu rumah dia benar-benar menemukan kejadian yang sangat tak diinginkannya. Sebuah pertengkaran hebat antara kedua orangtuanya, lemparan barang juga kalimat-kalimat kasar yang jujur tak ingin didengarnya.

"Kamu tau nggak?! Gimana sakitnya ngebesarin anak yang bukan darah dagingku sendiri? Anak yang kamu dapatkan dari hubunganmu dengan perempuan jalang itu?!"

     Kakinya seolah terpaku di bingkai pintu saat mendengar kalimat itu. Perempuan itu yang dalam benaknya -tak pernah bersikap hangat padanya-. Ia hanya mengingatnya sebagai seorang wanita berpenampilan elegan menyerahkannya seharian penuh kepada babysitter saat ia masih kecil.

***

Sret!

     Ia menginjak rem, hampir saja menerobos lampu merah jika saja matanya tak fokus memperhatikan rambu lalu-lintas itu.

***

Plak!

     Satu tamparan keras mendarat di pipi wanita itu. Dengan nada yang meluap-luap ia mendengar semua perkataan Papanya,"Beraninya kamu mengatakan dia jalang! Asal kamu tau, yang jalang di sini itu kamu!"telunjuk Papanya mengarah tepat di depan wanita itu,"Hadir sebagai orang ketiga dalam pernikahanku dengan dia. Kami telah memiliki anak, saat itu aku yang egois meminta Fatir untuk ikut denganku. Ku pikir kamu itu tulus, ternyata aku telah salah membawa seorang jalang sepertimu untuk mengeruk uangku."

     Wanita itu menangis terisak. Entah perasaan sesak seperti apa yang diterimanya saat untaian kalimat itu datang dari lelaki yang ia kejar cintanya. Dia kira selama ini telah mendapatkan segalanya dengan berhasil menikah dengannya, namun nyatanya tidak dengan jiwa lelaki itu yang masih mendambakan wanitanya. Dan itu bukan dirinya.

Prang!

     Satu barang terlempar lagi. Kali ini serpihannya mengenai sepatu Fatir, sontak kedua orang yang tadi terlalu asyik dengan dunianya dan tak memperhatikan kehadirannya pun kini menoleh.

"Fatir!"ucap Papanya terbata.

      Sementara itu wanita itu masih tetap tergugu tanpa mempedulikan Papa yang mengejarnya. Namun Fatir sudah terlanjur berlari. Ia tak ingin menjadi sumber masalah untuk siapapun. Entah ke mana tujuannya, yang jelas hatinya tak ingin berada di sini.

***

Tes!

     Satu titik air turun bersama jutaan titik lainnya. Fatir segera menghidupkan wiper di mobilnya, hanya gerimis memang, tapi cukup membuat kacanya berkabut.

"Hujan,"Adiba bergumam lirih.

     Fatir melirik Adiba sekilas. Wajah teduh itu mungkin tak akan pernah sadar seberapa kalut pikirannya barusan. Siang itu sama, hujan juga tiba-tiba saja turun saat ia berlari ke luar rumahnya -lebih tepatnya rumah kedua orangtuanya-. Bedanya hujan yang saat itu sedikit lebih deras.

"Sebentar lagi kita sampai di rumah Papa Mama. Jadi kita nggak bakal kemaleman tiba di rumah Om Ereon-nya."

     Biarlah kenangan itu tetap mengkristal pada salah satu sudut hatinya. Terkubur, Mama -yang sekarang- ataupun Adiba lebih baik tak perlu tau detailnya. Setidaknya, belum untuk saat ini.

***
To Be Continue :)
Yang udah baca mohon tinggalkan kritik sarannya jika berkenan. Mohon vote jika kalian benar-benar menyukai ceritanya, jika tidak maka tidak usah di klik vote. Karena author di sini murni ingin mengetahui respon pembaca untuk memperbaiki tulisan :)

See you next part :)

Dear HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang