Bab 2 (Keputusan)

2.8K 107 0
                                    

Adiba masih mematung di dalam mobil pria aneh ini. Di sampingnya Bunda juga tak bicara apapun, dia jadi curiga jangan-jangan yang di dalam mobil bersamanya ini bukan manusia.

"Rana, kok diem mlulu gitu sih?"

Astagfirullahaladhim! Adiba segera beristighfar karena telah berpikir yang aneh-aneh. Ia menoleh ke arah Bunda yang kini memandanginya serius, menatap wajah berbingkai kerudung warna krem tersebut.

"Rana itu masih bingung lho Bunda, sebenernya pria asing ini siapa sih Bunda? Terus soal sms Bunda itu apa-apaan coba?"Adiba cemberut.

"Lhoh kamu ini gimana sih, Rana? Kan udah Bunda bilang, dia ini yang langsung melamarmu dengan mendatangi Bunda."

"Tapi Bunda...,"Adiba merajuk. Seolah-olah di dalam mobil yang sedang melaju dengan kecepatan sedang tersebut hanya ada mereka berdua. "Bunda langsung nerima aja gitu? Ngga ada pertimbangan lain atau apa gitu kek! atau minimal tanya pendapat Rana atau gimana lah,"Adiba melipat tangan. Nadanya bersungut-sungut.

"Jadi kamu berpikiran, Bunda akan sengawur itu dalam urusan yang menyangkut soal seumur hidup buat anaknya gitu?!"

Sedangkan si pengemudi mobil hanya senyam-senyum kecil mendengarkan percakapan itu. Pukul 20.50 mobil itu sampai di depan halaman rumah Adiba. Terlihat sepi, hanya lampu di bagian teras rumah yang dinyalakan.

***

"Bunda, sebenernya ini apa-apaan sih? Kok nggak jelas gini,"Adiba melepas tali rambutnya dan melemparnya sembarang ke sofa saat dia dan Bundanya baru saja masuk ke rumah.

Salah satu kebiasaan buruknya jika sedang uring-uringan. Melempar apa saja yang sedang dijangkau oleh tangannya. Adiba lalu duduk di sofa dengan tangan terlipat, Bunda menemani di sampingnya.

"Rana, dengerin Bunda,"sekarang Bunda membalik tubuh Adiba hingga sempurna menghadapnya,"Dia itu pria baik-baik. Soal urusan dunia dan akhirat dia adalah pilihan yang tepat."

"Maksud Bunda apa? Tapi kalau menjalaninya dengan setengah-setengah apa itu masih dibolehkan Bunda?"Keukeuh Adiba.

"Awalnya, kamu mungkin masih merasa asing dan canggung. Tapi, percayalah suatu saat pasti perasaan cinta itu akan tumbuh. Kamu ini sudah waktunya menikah,"Bunda mengakhiri kalimatnya dengan tegas. Adiba seketika mematung, bingung harus merespon bagaimana.

Beliau kemudian menyerahkan sebuah amplop besar berwarna coklat pada Adiba,"Itu ada biodata lengkap dari pria yang tadi kamu tanyakan. Bunda bohong dikit sih soal lamaran itu, dia belum secara formal melamarmu. Baru ingin mengajakmu berta'aruf,"Bunda lalu berjalan ke kamar. Meninggalkan Adiba yang masih termenung memandangi amplop coklat tersebut.

Adiba memang pernah mempelajari tentang ta'aruf ini dulu. Sepahamnya, ini semacam cara mengenal dalam bentuk yang lebih serius dari sekedar kencan-kencan nggak jelas. Tujuannya jelas: Saling mengenal untuk membina rumah tangga. Ya, semacam itulah dalam perkenalan itu harus ada perantaranya mereka harus bertukar biodata atau informasi apapun lewat perantara itu. Tak boleh berdua-duaan secara langsung karena bisa mengundang maksiat. Kunci utama dalam proses ini hanya satu; jujur.

Walaupun Adiba merasa tak se-religius Bundanya, ia memang berniat menikah melalui jalan ini. Tapi..., sepertinya kalau sekarang hatinya masih labil dan belum siap untuk itu.

***

Lima belas menit kemudian Adiba baru memutuskan untuk beranjak ke kamar, setelah ia mager di sofa tersebut. Ia membawa amplop coklat tersebut ke kamarnya, mungkin ia akan menenangkan hati dulu sebelum membukanya.

Mengadu pada Tuhan, mungkin. Adiba segera beranjak lagi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, sholat tahajud. Memohon petunjuk, jalan apa yang harus ia tempuh untuk keputusan yang insyaAllah sekali seumur hidup ini.

***

Seusai shubuh, Adiba langsung beranjak ke dapur untuk memasak. Sementara itu Bundanya harus menggarap jahitan busana muslim. Dari pintu dapur itu ia melihat ketelitian Bunda dalam menggarap pekerjaannya, sayang sekali Adiba tak mengusai bakat itu.

Ia mencuci semua sayuran yang tadi telah dipotong-potongnya. Kol, wortel, kentang, daun seledri, dan bunga kol. Sederhana saja, ia akan memasak sop pagi ini. Ia mulai menyiapkan bumbu-bumbu untuk dihaluskan, kemiri, dua siung bawang merah, sesiung bawang putih dan juga merica.

Ctek!

Adiba mulai merebus air. Memasukkan bumbu halus setelah airnya mendidih, mengaduk-aduknya sebentar dengan menambahkan gula dan garam ke dalam panci sebagai pengganti penyedap rasa dan kentang terlebih dahulu, karena membutuhkan waktu merebus yang lebih lama. Lalu memasukkan sayuran lainnya yang disiapkan tadi. Tunggu beberapa saat dan Hmm..., aroma sedap akan segera menguar.

Sebagai pendamping sop Adiba juga menggoreng beberapa potong tempe.

***

"Jadi menurutmu dia bagaimana?"Bunda menanyainya lagi ketika mereka berada di ruang makan yang menjadi satu dengan dapur ini. Pukul 06.30 ini mereka sedang sarapan.

Di ruang makan itu hanya ada mereka berdua. Ayah Adiba telah pergi sejak ia masih berumur 4 tahun. Entah karena alasan apa? Ia tak terlalu ingat detailnya, yang jelas karena kejadian itulah yang membuat Bundanya menjadi wanita setegar saat ini.

"Jadi menurutmu dia pria yang bagaimana?"

Adiba terlonjak dari lamunannya ketika ia mendengar Bunda mengulang pertanyaannya. Mungkin, dia menyadari sikap bengong dari lawan bicaranya tersebut.

Adiba menghentikan sendoknya,"Menurut Bunda bagaimana?"ia malah balik bertanya. Beliau tersenyum menanggapi pertanyaan putrinya, "Kalau menurut Bunda dia pria baik-baik. Dia mengenal Allah dengan baik, maka dia juga akan mengajakmu untuk mengenal Allah lebih baik. Percayalah Rana, Bunda sudah pertimbangkan matang-matang hal ini. Bunda nggak mau kamu menjalani pernikahan yang salah seperti Bunda,"nadanya sendu saat mengakhiri kalimatnya.

Adiba mendadak merasa bersalah saat mendengarkan penjelasan Bunda di bagian ini. Karena bagaimanapun masa lalu Bunda, yang entah apa itu. Dia tetap wanita terbaik dan tertangguh dalam versinya.

Pagi ini entah kenapa perasaannya lebih lega. Mungkin..., ia akan mengistikharahkannya. Sesegera mungkin Adiba pasti akan memberikan jawabannya.

***
To Be Continue 😊
Mohon kritik dan sarannya dan beri ☆ (Vote) jika suka (Ini tidak bersifat memaksa, murni jika reader menyukai ceritanya. Karena apalah arti ☆ (Vote) jika hanya pencet dan tanpa kejujuran 😂 )

Dear HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang