Tuing!
Adiba baru saja membuka ponselnya ketika pesan dari Bundanya itu masuk. Isinya singkat:
"Rana kamu apa kabar? Sibuk banget ya? Sampai nggak ngabarin Bunda. Oh iya hari ini Papa dan Mama Fatir datang untuk membicarakan soal resepsi kalian."
Ia meneruskan kegiatannya menata masakan yang telah disiapkannya ke atas meja makan. Resepsi? Ia bahkan tak pernah membayangkan hal itu.Dilihatnya Fatir baru saja ke luar kamar mandi. Ia telah mengenakan T-shirt berwarna putih dan celana trining berwarna hitam. Mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil lalu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Mengamati Adiba yang masih menyiapkan sarapan mereka, ini hari libur tapi raut mukanya tak secerah biasanya.
"Mas,"Panggil Adiba agak kaku. Lidahnya masih terasa asing untuk mengucapkan kata pendek tersebut.
"Manggil siapa ya?"canda Fatir. Adiba langsung mengerucutkan bibirnya, nggak tau apa dia susah payah mengucapkan kata itu? Huh! Dasar!
"Eh iya-iya ada apa?"sahutnya buru-buru saat mendapati ekspresi tersebut.
Lalu Adiba menunjukkan pesan dari Bundanya. Fatir hanya menanggapinya datar,"Ya nggak ada salahnya juga sih."
"Tapi aku kayaknya nggak mau pesta-pestaan segala geh."
"Kenapa? Aku memang niat mengadakan walimah kecil-kceilan juga, tapi nggak tau juga kalau Mama Papa udah urusin."
"Ya nggak pa-pa sih. Cuma agak nggak suka berdiri di hadapan banyak orang aja,"bahunya terangkat.
Ia kemudian membuka piring di hadapannya. Mulai mengambil makanan begitu juga dengan Fatir.
***
Ereon mengetuk pintu kamar anaknya. Ini sudah pukul 07.00 tepat, namun Elisa belum juga ke luar dari kamarnya.
Elisa sebenarnya telah mendengar ketukan pada daun pintu kamarnya serta suara Papinya yang telah memanggilnya berulang-ulang tersebut, namun ia masih enggan beranjak dari selimut tebalnya. Ya Tuhan! Matanya masih sembab.
"El sayang, turun nak. Sarapan dulu,"suara itu terdengar sekali lagi. Namun masih tak terdengar sahutan apapun dari dalam sana,"Kamu kenapa El? Sakit?"
"Nggak pa-pa kok Pi, El cuma masih ngantuk aja. Rasanya badan El masih sakit semua,"bohongnya namun masih tetap tak membuka pintu. Ia tak ingin Papinya tahu bahwa ia baru saja menangis semalam suntuk.
Elisa masih menyembunyikan wajahnya di dalam selimut. Memorinya saat ia pertama kali mengenal Fatir seolah terproyektor jelas dalam benaknya, ia seorang gadis kecil yang memupuk perasaannya pada seorang yang terpaut usia 11 tahun darinya. Fatir 18 tahun dan ia 7 tahun saat itu.
***
Siang itu setelah mendengar seluruh pertengkaran orangtuanya, Fatir benar-benar kabur dari rumah. Ia menumpang angkot dan turun di sebuah terminal bus, di sana ia sembunyi-sembunyi agar Papa yang mengejar tak menemukannya.
Berdiri berdesak-desakkan di bus ekonomi mungkin pengalaman tak mengenakan baginya, mengingat selama ini ia adalah anak dari orang kaya yang selalu hidup berkecukupan.
Bus itu melaju memasuki sebuah kapal feri yang akan membawanya ke pulau sebrang tepat saat Adzan maghrib terdengar. Semua penumpang bergegas turun dari bus dan naik ke atas dek kapal. Sebagian dari mereka yang menyadari seruan Adzan segera mencari mushola kecil yang tersedia dalam kapal tersebut.
Fatir yang saat itu hatinya masih keras mana mau peduli soal panggilan Illahi itu. Ia lebih menikmati semilir angin malam di atas kapal, menyaksikan kerlip lampu dari kapal-kapal lain yang terlihat bagai jutaan kunang-kunang di atas lautan. Matanya terlihat amat menikmati semua pemandangan itu, meskipun hatinya hampa dan tak tau ke mana tujuannya akan berlabuh setelah ini.
***
Sekitat tahun 2005-an, meskipun keberadaan ponsel belum sepesat saat ini tapi Fatir yang tergolong dari keluarga kaya pun telah memilikinya. Maka saat itu setelah turun dari bus, dan sampai di terminal -yang entah namanya apa, ia tak peduli- ia memutuskan untuk mencari outlet pulsa dan mengganti simcard-nya.
Uang yang dibawanya dari tabungannya hanya mampu membuatnya bertahan hingga saru bulan. Terpaksa ia harus diusir dari tempat kost-nya ketika tak mampu lagi melunasi tunggakannya.
Itulah awal mulanya ia menggelandang di kota seberang itu. Pintu masuk pertamanya ke dalam dunia kriminal, ia merasa percuma telah menjadi anak baik-baik selama ini setalah mendengar semua ucapan Mamanya. Siapa wanita jalang yang dimaksud Mamanya? Astaga! Benarkah ia memang terlahir dari sebuah dosa? Pikirannya mengembara ke mana-mana.
"Eh Lu anak baru ya?"ia mengkerut ketika ada segerombolan preman menghampirinya, 4 orang pemuda tanggung dengan 1 gadis dengan penampilan sama urakannya. Saat itu ia baru saja menghitung uang hasil copetannya.
Ia menyembunyikan uangnya secara takut-takut. Ke lima orang di hadapannya menyeringai, seperti mendapat mangsa baru. Salah satu dari pemuda urakan itu menghampirinya yang semakin menciut dan menepuk pundaknya. Jika kakinya tak mendadak berat, ia pasti telah lari sejak tadi.
"Ck! Masih polos banget sih Lu,"orang itu seperti mengamati tubuh Fatir dari atas ke bawah.
"Tenang aja, kita nggak bakalan nyakitin Elu kok,"salah satu dari mereka kini ikut berseru lagi. Bergabung, seolah kakak senior yang sedang mengerjai adik kelasnya ketika MOS.
"Kita justru bakalan ngajarin Elu, tentang bagaimana caranya merasakan surga,"cewek di hadapannya itu angkat bicara, kemudian disambut tawa oleh teman-teman cowoknya.
Fatir semakin mengkerut, tak tau apa yang akan mereka lakukan pada dirinya. Satu langkah, keberanian untuk melangkah mundur itu baru di dapatnya saat ia merasakan sebuah cengkraman di bahunya.
"Weh santai aja kali,"sergah seseorang yang memegangi bahunya tersebut,"Elu nggak bisu kan men?"Fatir mengkerut. Ia memegangi saku celananya.
"Nyimeng dulu kek, sama kita."
Buk!
Ia merasakan satu pukulan di perutnya. Tersungkur akan melawan, namun pukulan-pukulan berikutnya datang bertubi. Hingga ia pingsan dan tak sadarkan diri.
Anehnya saat sadar ia tak berada di sebuah ruangan aneh dan pengap seperti yang dibayangkannya. Ia berada di sebuah kamar dengan nuansa mewah diseklilingnya.
"Wah! Sudah sadar dia rupanya oi!"salah satu dari mereka yang tadi memukulinya berteriak-teriak.
"Ini di mana?"suaranya parau.
"Akhirnya Lu ngomong juga! Gue pikir Lu orang bisu,"cewek itu bangkit dari tempatnya duduknya di samping ranjang,"By the way, kita nggak bohong 'kan kalau bakalan bawa Elu ke Surga. Elu lihat sendiri 'kan?"
Kemudian ke-4 orang lainnya pun segera menyahut dengan tawanya. Cewek itu menyalakan rokok dari saku celananya.
"Wih! Gila ni cewek, padahal sebulan lalu dia juga masih polos banget kayak ini orang,"celetuk salah satu teman cowoknya. Ia langsung saja menjitak kepala cowok tersebut.
"Gak usah kasar gitu geh! Honey, mending Lu bagi cimeng Lu ke gue."
"Dasar Lu gak modal,"cewek tadi mengulurkan rokok yang telah disulutnya. Kemudian mengambil satu batang lagi untuk ia nyalakan.
Di sana, pintu selanjutnya bagi Fatir untuk masuk ke dunia yang semakin gelap.
***
Fatir tersungkur dalam sujud terakhirnya, dalam sholat malamnya. Lama, ada doa tak terucap yanh sedang dia adukan kepada-Nya.Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus (Al-Ma'idah 5:16)
Hatinya tersentuh ketika membaca ayat itu. Ia tergugu, tanpa menyadari sepasang mata yang menatapnya dari balik selimut. Ya Allah! Sereligius inikah dia yang kau kirimkan?
***
Tbc.... 😊