Bab 5 (Pertemuan)

1.9K 67 0
                                    

        Pukul 21.00, akhirnya tiba juga. Setelah Adiba sempat berharap waktu sedikit melambat, ah! Itu hal yang konyol memang. Tapi ia memang masih berat hati -sebenarnya- untuk meninggalkan tempatnya menghabiskan waktu hampir setahun ini.

     Dengan langkah gontai ia keluar dari restaurant itu. Mengeluarkan ponsel smartphone-nya untuk menghubungi driver ojek online langganannya. Memasukannya lagi ke tas selempang kecilnya dan mondar-mandir di depan restaurant yang telah tutup itu.

"Diba, mau aku anterin pulang nggak?"Adiba menoleh dan mendapati Naira telah berdiri di sampingnya,"Itung-itung yang terakhir deh! Kan besok kamu udah nggak kerja di sini lagi,"tawar gadis itu sekali lagi.

"Wah..., gimana ya Nay, aku udah mesen driver ojek online langgananku sih,"Adiba menunjukkan muka bersalahnya karena menolak ajakan Naira.

"Ya udah deh kalau gitu aku temenin kamu di sini ya, sampai pesenan kamu datang,"gadis itu tersenyum tulus.

"Makasih ya,"ucap Adiba pelan.

***

Huh...

     Melelahkan sekali, Fatir melepas maskernya ia baru saja selesai melakukan penjahitan pada sebuah operasi. Tangannya menata kembali scalpel, beberapa scissors serta forcepals yang tadi digunakannya, semua peralatan itu harus segera di-sterilisasi kembali.

"Tir!"

"Iya ada apa Pak?"

     Fatir menghadapkan wajahnya ke orang yang berada di sampingnya tersebut. Sedari tadi ia terlalu fokus dan mengabaikan seniornya tersebut, Pak Ereon. Ketua dokter bedah di rumah sakit ini.

"Ini sudah cukup malam, kalau kamu mau pulang duluan nggak pa-pa biar saya yang nanti bereskan semua ini,"beliau tersenyum.

      Fatir juga balas tersenyum. Seolah-olah mengisyaratkan tidak apa-apa. Ia terlalu menghargai Pak Ereon, orang yang baginya berarti banyak dalam perubahan di hidupnya. Dan dia telah berjanji untuk membalas kebaikan Pak Ereon semaksimal mungkin.

***

       Pagi harinya seusai sholat subuh tadi, Bundanya sudah disibukkan dengan kegiatan dapur. Untuk kali ini -spesial- kata Bunda, biar Bunda saja yang memasak. Adiba berdiri di samping Bundanya sambil melipat tangan, tatapannya seolah mengatakan, "Ini apa lagi sih Bunda?"

     Pagi ini Fatir akan datang bersama rombongan keluarganya. Ya semacam acara lamaran secara resmi -gitu-. Tapi seenggaknya ya nggak lebay gini juga kali, terus kegiatan Rana pagi ini harus ngapain dong, Bunda? Batin Adiba.

"Kamu siap-siap ke kamar gih! Mama udah ngontak tukang rias tadi, katanya sekitar 15-an menit lagi sampai,"Bunda masih mengaduk rendangnya dengan asyik.

"Apa? Tukang rias?"Adiba membelalak untuk memastikan.

"Tenang aja, nanti kamu bakal dirias senatural mungkin kok. Kamu cuma dibikin lebih fresh aja kok Rana sayang."

"Tapi Bun, apa ini nggak terlalu berlebihan?"

"Nggak! Nggak ada yang salah kok, itung-itung ini kan hari spesial kamu."

"Baru lamaran Bunda, belum pernikahan,"Adiba mendebat sekali lagi meskipun nadanya tetap saja terdengar merengek.

Tok
Tok
Tok

     Perdebatan kecil itu harus dibuyarkan oleh suara ketukan pintu.

"Nah! Pasti itu. Buruan gih, kamu bukain pintunya."

***

"Ma..., parzelnya harus ya seberlebihan gini?"Fatir masih belum selesai mengangkut satu-persatu keranjang dalam ukuran kecil itu ke mobilnya.

     Jam 06.11 dan mereka masih menata barang-barang apa saja yang akan mereka bawa untuk acara lamaran nanti. Papanya juga sudah bersiap-siap dibalik kemudi.

"Aduh kamu ini gimana sih Fatir? Ya harus mempersiapkan segala sesuatu itu yang serba spesial lah."

Hmmm...,

     Ia mengembuskan napas panjang. Orangtua memang terkadang suka mempersiapkan segala sesuatunya menjadi agak berlebihan -menurutnya- padahal ia menginginkan acara yang sesederhana mungkin.

"Iya Ma, tapi buru ya. Kan kita janjinya nyampai sana jam tujuh."

Brrrmmm....,

     Akhirnya mobil putih itu keluar juga dari halaman rumah minimalis tersebut. Papa yang bertindak sebagai pengemudi seolah-olah paling tau ke mana arah mereka, padahal Fatir belum menyebutkan alamat detailnya. Seperti jalan dan nomor rumahnya.

"Pa, emangnya udah tau alamatnya?"

"Kalau komplek perumahan yang kamu ceritain semalam itu Mah Papa hafal. Nanti kalau udah sampai gerbang perumahan itu kamu tinggal sebutin jalan dan nomor rumahnya."

***

     Adiba duduk dikamarnya dengan was-was. Ia telah selesai dirias. Tak terlalu berlebihan seperti yang dibayangkannya, Bunda benar juga ternyata. Tak ada kegiatan menggambar alis atau apapun itu. Wajahnya hanya disapukan dengan blush-on tipis berwarna pink dan lipstick dengan warna yang senada, juga bedak dengan warna satu tingkat lebih cerah dari warna asli kulitnya yang agak pucat.

"Udah santai aja,"Bunda yang duduk di sampingnya itu menggenggam tangan kanannya dengan kedua tangan.

"Deg-degan juga, namanya juga kan baru pertama kali sih."

***

     Akhirnya pertemuan pagi itu tak berjalan secanggung yang dibayangkan Adiba. Bundanya dan keluarga Fatir langsung dapat mengobrol dengan akrab dan hari pernikahan mereka juga sudah resmi diputuskan, yaitu sebulan lagi dari sekarang.

To Be Continue....
Jangan lupa kritik dan sarannya :)
Dan vote jika kalian menyukai ceritanya :) jika tidak, tidak usah di vote karena author di sini murni ingin lihat respon pembaca :)

See you next part ya 😉

Dear HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang