Ruangan berukuran 4x6 meter dengan tinggi 7 meter itu terlihat memilukan. Tubuh lemah Elisa masih terbaring di atas ranjang ruangan bernuansa serba putih itu dengan tiang infuse yang berdiri di sebelah kanannya. Hari ini, Papi sengaja minta izin untuk merawat putrinya itu secara khusus.
Jari jemari dingin Elisa yang digenggamnya terasa sedikit bergerak. Ia pun sigap memeriksa kondisi putrinya tersebut, melihat sepasang mata yang sayu-sayu terbuka.
"El sayang, Papi mohon jangan bertindak bodoh lagi."
Elisa tersenyum tipis, matanya masih sayu seolah berat untuk terbuka,"Fatir...,"ucapnya lirih dan berulang beberapa kali.
"Iya El sayang, kamu tunggu sebentar. Papi panggilin dia."
***
"Assalamualaykum Bunda,"Adiba langsung memeluk erat Bundanya ketika ia baru saja turun dari taksi. Wanita paruh baya itu telah menunggunya di halaman rumah.
Hari ini, karena ia bosan di rumah dan merindukan Bundanya. Ia menelpon Fatir dan meminta izin untuk berkunjung ke sini.
"Waalaykumussalam, gimana kabar calon cucu Bunda,"Bunda mengelus perut Adiba yang masih terlihat datar.
"Kok Bunda tau, 'kan Rana belum ngasih kabar? Doakan semuanya lancar ya Bun."
"Bunda tau dari bahasa tubuh kamu Rana sayang, yuk masuk."
Adiba mematung sesaat di halaman rumah itu. Memperhatikan sekeliling kenangan masa kecilnya itu, dan tiba-tiba ada sosok lain yang sangat dirindukannya. Ayah. Sosok yang bahkan wajahnya hanya samar-samar ia ingat.
***
"El,"hanya sepatah kata pendek itu yang mampu Fatir ucapkan. Dadanya terlalu sesak untuk memgeluarkan sebuah kalimat, bersama dengan setitik-dua titik cairan bening yang tergelincir dari pelupuk matanya.
"Ma-af-kan akk-ku ber..., sikap bodoh."
"Nggak ada yang perlu dimaafin, kamu nggak salah apa-apa El."
"Pi...,"Elisa bergantian memandangi Papinya, matanya menatap lemah namun berusaha ceria,"El kangen banget sama Momma, tadi El mimpi ketemu Momma. Tapi dia nangis Pi, apa itu juga karena Momma juga kangen El? Momma kali ini bener-bener terlihat nyata Pi."
"Nggak cuma foto doang kayak yang El liatin sejak kecil."
Perlahan mata sayu itu tertutup, membawa semua lelah di hatinya yang telah menjelma lega.
"El sayang, jangan tinggalin Papi sayang!"
Tubuh itu tetap bergeming meski diguncang-guncangkan.
***
Adiba yang sedang membantu Bundanya menyetrika baju jahitan ketika merasakan ponsel dari saku gamisnya bergetar. Ia pun segera merogoh benda persegi panjang tersebut lalu mengusap layarnya,
"Assalamualaykum Mas, ada apa ya?"
"Waalaykumussalam,"suara itu terdengar serak. Ada jeda cukup lama yang membuat Adiba mengulang pertanyaannya,"Ada apa ya Mas?"
"Mas cuma mau ngasih kabar, kamu inget Elisa kan?"
"Iya inget, kan baru beberapa hari lalu kita ketemu dia di supermarket sama Mbak Anita."
"Dia meninggal pagi ini, Dek,"suara itu serak, menandakan isak tangis dari pemiliknya.
Tut--
Lalu sambungan telepon itu terputus. Adiba masih menutup mulutnya karena terkejut.
***
Saat itu juga Fatir menghubungi Mama dan Papanya yang sedang dinas di luar negri, namun ia tak menjelaskan apa penyebab Elisa meninggal. Yang orangtuanya paham, sejak kecil Elisa memang memiliki fisik yang lemah dan sakit-sakitan. Untuk saat ini, mungkin lebih baik orangtuanya berpikir bahwa itulah penyebab Elisa meninggal.
"Fatir, kamu tolong sampaikan rasa bela sungkawa kami pada Om Ereon ya. Maaf kami nggak bisa hadir,"walaupun suara itu datang dari telepon Fatir paham bahwa nadanya terdengar amat sedih.
***
Semua orang telah beranjak meninggalkan pemakaman Elisa, sementara itu Om Ereon, Fatir dan Adiba masih di sana, juga Aneta yang masih sulit percaya dengan kepergian adik kecil-nya ini.
Fatir mencoba menenangkan Om Ereon yang masih menangis sambil memeluk erat-erat salib yang bertuliskan nama putrinya.
"Om..., kita pulang yuk. Kayaknya sebentar lagi juga mau hujan."
"Nggak apa-apa Fatir, kamu sama istrimu boleh pulang duluan kok,"Om Ereon tersenyum. Ia juga mengalihkan pandangannya pada Aneta,"Kamu juga kalau mau pulang duluan nggak pa-pa nak Aneta."
***
Adiba termenung di tempat tidurnya, hari ini Fatir baru saja menceritakan masa lalunya secara utuh pada Adiba. Tentang bagaimana dulu pertengkaran orangtuanya, tentang ia yang kabur dan terjebak bersama sekawanan preman. Tentang kecelakaan saat ia mau direhabilitasi itu, dan..., yang terakhir tentang malaikat kecil itu. Tentang perasaan itu, hanya satu hal yang ia simpan rapat-rapat, tindakan bodoh Elisa. Karena Fatir tak sanggup mengatakan bahwa dia-lah penyebab Elisa melakukan semuanya.
Adiba beranjak dari duduknya saat melihat kedua pundak Fatir berguncang karena tangisnya. Nuraninya memanggil untuk memberi pelukan, setidaknya dengan memeluk Fatir ia berharap bisa mengurangi beban kesedihan di hati suaminya itu. Adiba menepuk-nepuk punggung Fatir. Mencoba menyalurkan kekuatan, Fatir melepas pelukan mereka terlebih dulu. Matanya masih sayu, namun kedua tangannya tertangkup di pipi Adiba dan ia mencoba mengukir senyum di wajahnya sendiri. Seolah-olah ingin mengatakan pada Adiba bahwa ia baik-baik saja.
"Mas, mas jangan seperti ini terus. Ini semua udah takdir Mas, sekarang Allah sudah mengirimkan malaikat kecil pengganti di dalam sini. My dearest husband."
*Selesai*
Maaf kalau ceritanya jelek bin gakjelas. Karena jujur saya masih belajar dan kesulitan nyiptain konflik jadi ya gitu deh absurd 🙈