Bab 16 (Sahabat Lama)

1.3K 45 0
                                    

"Papi..., dia udah sadar!"

     Matanya belum sepenuhnya terbuka ketika ia mendengar teriakkan gadis kecil itu. Ia mengerjap, mencoba menyesuaikan cahaya putih yang baru saja menerpa matanya. Dengan pandangan yang masih agak buram ia sempat melihat seorang dokter berlari ke arahnya.

***

     Adiba duduk di bangku kayu panjangnya. Tatapannya seolah kosong, ketika ia mengawasi anak-anak panti yang sedang bermain bersama Aneta dan Naira.

"Ngelamun?"ia harus terperanjat ketika mendapati Fatir telah duduk di sampingnya, merangkul bahunya dari samping. Membuat Adiba semakin mematung, lengan Fatir seolah-olah mengunci seluruh persendiannya.

"Hari ini kamu udah sholat ashar? Berarti udah selesai ya?"

Adiba seketika menoleh,"Eh?!"

"Kenapa 'kan cuma nanya?"Fatir sedikit menjauhkan tubuhnya. Namun sebelah matanya mengerling, ia sengaja ingin sedikit menggoda Adiba.

"Iya sih, waktu kebangun Rana lihat udah nggak ada jadinya sekalian bersuci terus sholat subuh waktu aku lihat Mas udah jamaah ke masjid,"jelasnya.

"Rana itu siapa?"

Menjengkelkan sekali! Batin Adiba dalam hati. Udah jelas-jelas itu kebiasaannya, yang suka menyebut namanya sendiri dengan panggilan spesial dari Bundanya tersebut. Bisa-bisanya bertanya seperti ini huh?!

"Maksudnya aku,"jelas Adiba pendek. Fatir tertawa.

***

     Fatir membuka matanya perlahan dan melihat dokter tadi masih sibuk memeriksanya bersama dengan dua orang perawat, ia melihat gadis kecil yang tadi berteriak berdiri agak menjauh, berada di dekat pintu sambil memainkan bonekanya.

"Syukurlah keadaannya nggak parah."

     Jika saja mulutnya tak mendadak ngilu, Fatir ingin sekali bertanya banyak hal. Atau sekedar mengungkap terima kasih atas pertolongan mereka. Sayang, mulutnya masih terasa sakit untuk digerakan.

***

     Setelah beberapa hari kepergian anaknya ia memutuskan untuk benar-benar pergi meninggalkan wanita itu, membawa semua barang-barangnya. Sejak ponselnya mati siang itu, ia belum sama sekali mengisinya -tak sempat-. Maka Adrian memutuskan untuk mencari wartel terdekat. Semoga nomornya masih bisa dihubungi. Harapnya.

***

"Halo,"Ereon segera mengangkat ponsel nokia-nya ketika ada sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenalnya.

"Astaga ini Adrian? Adrian Wijaya? Apa kabar Pak, udah 5 tahun lebih kita nggak ketemu sejak aku pindah dulu. Bagaimana kabar istri dan anakmu Fatir?"

   Dulu, mereka sempat akrab dan bertukar nomor telepon lewat secarik kertas.
  
    Tak terdengar balasan suara untuk waktu yang cukup lama dari si penelpon. Hingga akhirnya sahabat lamanya itu menceritakan semua masalah dan memohon bantuannya.

Tut..., tut..., tut...

   Ereon segera meletakkan ponselnya ke dalam saku putihnya. Mengamati pasien yang masih terbaring di ranjang tersebut. Firasatnya tidak salah lagi, ia memang tak salah mengenali wajah layu yang sedang berbaring itu. Meskipun dulu ia bertemu wajah ini ketika masih usia anak-anak.

Fatir Wijaya.

    Anak dari sahabat lamanya.

***

    Adiba banyak mengobrol dengan mbak Aneta dan Naira, ketika kedua sahabatnya itu telah puas bermain bersama anak-anak panti asuhan tersebut. Ia menanyakan banyak hal tentang restaurant tempatnya bekerja dulu.

"Jadi hari ini kalian cuti?"mereka kompak mengangguk untuk menanggapi pertanyaan Adiba.

"Demi kamu nih, Diba,"sahut Mbak Aneta.

"Kapan-kapan aku dan Mas Fatir bakalan berkunjung ke sana ya,"Adiba tersenyum di ujung kalimatnya.

"Ye..., siapa bilang aku bakal setuju,"Fatir berseloroh dengan nada bergurau. Membuat ketiga orang di hadapannya melepaskan tawanya.

***
Tbc
Maaf ya kalau slowwww banget atau ceritanya agak gaje dll. Author amatiran ini masih proses belajar 😊
Vote jika kalian menyukai ceritanya, jika nggak suka nggak usah (Karena author di sini murni ingin lihat respons pembaca *jika ada yg baca*)

Dear HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang