Eight

457 36 0
                                    

Ujian yang diberikan oleh Lee Soo Man sudah selesai kemarin malam—tepatnya pukul sembilan lebih delapan belas menit. Jujur, Naeun merasa sangat lelah diberi tes oleh pria paruh baya itu. Tapi ia berpikir lagi, pasti para trainee di agensi itu pasti mendapatkan pelatihan yang lebih sulit darinya. Jadi Naeun berpikir untuk tidak mengeluh jika ia ingin mendapatkan hasil yang baik.

Kini, Naeun bersama beberapa orang yang bernaung di SM Ent. sedang berkumpul di suatu ruangan—semacam ruang meeting. Di atas meja panjang itu telah tersedia banyak makanan, katanya untuk merayakan keberhasilan Naeun. Tapi gadis itu sama sekali tidak tertarik. Ia merasa jika dirinya belum berhasil. Buktinya, Leeteuk belum juga menyatakan cintanya pada dia, apalagi meresmikan hubungan mereka. Atau jangan-jangan, waktu itu Leeteuk bercanda ketika mereka berbicara di ruangan itu?

Omong-omong, hubungan Naeun dan Leeteuk sudah di konfirmasikan kepada pubilk bahwa mereka berkencan. Ya, hanya berkencan. Bukan sepasang kekasih. Tapi hal itu di terima oleh publik dengan cukup baik, mengingat umur Leeteuk yang terbilang sudah sangat matang.

Mulut gadis itu menerima suapan besar makanan. Hatinya sedang panas melihat adegan di depan matanya. Yoona dan Leeteuk sedang bercengkrama sambil saling menyuapi makanan. Jika begini, ia lebih memilih tidur di rumah daripada melihat adegan menyakitkan itu.

"Kau cemburu?" Kepalanya menoleh ke samping kanan dan menemukan Saeun sedang memakan kimchi. Rahang Naeun terlihat mengeras. Matanya pun menatap tajam perempuan di sampingnya. Namun Saeun berusaha tenang meskipun tangannya kini sudah gemetar. Ia tertawa kecil. "Aku pun sudah merasakan hal yang saat ini kau alami. Diabaikan oleh orang yang kau sayangi rasanya menyakitkan, bukan? Aku juga merasakan itu ketika kau mengabaikanku, padahal aku ingin menjelaskan padamu mengapa aku menyembunyikan kabar itu."

Air mata Saeun sudah tidak dapat dibendung lagi. Ia menangis dengan kepala tertunduk agar orang-orang tidak dapat mengetahui hal itu. Kecuali Naeun.

"Apa maksudmu? Jika itu tentang masa lalu terkutuk itu, aku sudah malas untuk membahasnya," balas Naeun pelan.

"Dan membiarkan hubungan keluarga kita semakin renggang?" Naeun tidak merespon apapun. Ia masih menunggu kalimat selanjutnya. "Aku tidak mau itu terjadi. Kau adalah sepupuku. Adik-ku. Keluargaku. Aku mohon kali ini dengarkan penjelasanku. Apa aku perlu berlutut di depanmu?" Air mata Saeun samakin deras layaknya air terjun yang mengalir.

Naeun tentu saja tidak akan membiarkan Saeun berlutut padanya. Itu adalah hal yang memalukan. Saeun lebih tua darinya dan membiarkan Saeun berlutut adalah hal yang paling buruk. Akhirnya ia mengangguk, "sepuluh menit dari sekarang."

Mata Saeun membulat—tidak percaya. Perlahan senyumnya mengembang, ia menghapus air matanya dan tanpa basa-basi lagi ia mulai berbicara.

"Waktu itu orang tua-mu akan pulang ke negara ini dua hari sebelum kau berulang tahun. Sebelum pergi—seperti biasa—mereka menghubungiku dan mengatakan jika mereka tidak selamat sampai Korea, mereka ingin mengatakan jika mereka mencintaimu."

Pandangan kosong Naeun mengarah pada mangkok di depannya. Bagaimana bisa orang tuanya berkata hal ambigu seperti itu? Apakah mereka tidak tahu jika yang kita ucapkan adalah sebuah do'a?

"Mereka juga mengatakan, jika keduanya meninggal dalam keadaan yang mengenaskan—seperti kecelakaan mobil atau pesawat—mereka ingin kau tidak mengetahuinya. Mereka ingin aku mencari alasan yang lebih baik apa yang menyebabkan mereka meninggal, tidak dengan kecelakaan. Mereka malu jika tubuh hancur mereka terlihat oleh matamu.."

Saeun tertawa miris sambil mengusap air matanya. "Konyol sekali bukan? Tapi hal itu menjadi kenyataan. Mereka kecelakaan mobil dan masuk ke dalam jurang. Ketika kau menghubungiku saat itu, aku sedang berada di TKP. Kami baru menemukan jasad keduanya pada hari itu. Saat itu aku berbohong untuk menjalankan permintaan orang tuamu. Mereka tidak ingin jiwamu terguncang oleh kematian keduanya. Mereka ingin kau selalu hidup bahagia dengan senyuman yang selalu ada di wajahmu. Tapi aku malah menghancurkan amanah itu. Kau justru membenciku dan hidup dalam kegelapan. Maaf. Maafkan aku. Aku memang salah dan kau pantas membenciku."

"Apa aku bisa mempercayaimu?"

"Aku punya buktinya. Rekaman telepon antara aku dan kedua orang tuamu. Kau mau mendengarnya?"

Dengan ragu Naeun menganggukan kepalanya. Dan, pada saat itu pula Saeun langsung mengambil ponselnya yang berada di tasnya. Tapi ketika ia berbalik, ada lelaki yang melihat wajahnya. Ryeowook. Lelaki itu tersentak lalu mendekati Saeun.

"Kau menangis?" Pertanyaan itu terdengar oleh semua orang dalam ruangan itu. Hingga keadaan menjadi hening dan memandang Ryeowook. "Saeun-ah, kau menangis? Kenapa?"

Saeun menggelengkan kepalanya, "aku tidak menangis."

"Bahkan dengan suara parau seperti itu?" Tatapan Ryowook beralih pada Naeun yang sekarang sama sedang tertunduk. Ia berdesis tajam sambil menunjuknya dengan telunjuk, "apa karna dia kau menangis?"

Saeun menggelengkan kepalanya. Setelah menghapus air matanya, ia mendongkakan kepala sambil tersenyum. "Jangan suka menyalahkan orang lain."

"Kau pasti berbohong! Sebelumnya, dia juga membuatmu menangis, kan? Dia memang wanita ular. Sejak awal aku memang tidak menyukainya."

Semua orang kaget dengan ucapan Eunhyuk. Apalagi Naeun yang sekarang ini sedang disalahkan. Ia merasa pipi dan telinganya memanas. Itu adalah penghinaan yang pertama kali ia dengar. Rasanya sangat menyakitkan.

"Kau jangan menyalahkan Naeun. Dia tidak membuatku menangis. Mengapa kau kasar sekali? Tak bisakah kau menjaga mulutmu?" sahut Saeun dengan tajam.

Tiba-tiba ada suara lagu Gwiyomi. Semua tatapan kini beralih pada ponsel dengan casing bergambar Doraemon. Handphone Naeun berbunyi. Dengan cepat ia menjawab panggilan itu. Sementara, yang lain memperhatikannya.

"Halo Bona-ya?"

Terdengar suara ramai dan juga isak tangis dari Bona. Entah kenapa firasat Naeun menjadi tidak enak.

"B-bisakah kau ke toko sekarang?"

Gadis itu mengernyitkan dahinya, "ada apa?"

"Naeun, maaf."

"YAK!! WAE?!"

Tidak ada sahutan. Yang ia dengar terakhir kali adalah suara benda yang jatuh sebelum sambungan mereka terputus. Dengan cepat, Naeun memasukan ponselnya ke tas. Ia menundukan kepalanya sekilas kepada Lee Soo Man.

"Maaf, aku harus pergi sekarang." Tatapannya beralih pada Saeun. "Kirimkan saja padaku. Aku akan mendengarkannya nanti." Memeluk sepupunya sebentar sebelum pergi dari sana dengan berlari.

Saeun memantung di tempatnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika Naeun mau mememluknya. Apakah itu pertanda bahwa Naeun sudah memaafkannya? Jika iya, dirinya merasa bersyukur dan senang akan hal itu.

***

My Choice (Leeteuk Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang