[29] Dihempas

850 45 0
                                    


SAKA belum mengerti kenapa ia berada ditempat ini. Berdiri diantara orang-orang bersorot cemas dan gusar. Dan ia menjadi salah satu orang yang bersorot kosong. Kedua tangan disisi tubuh beberapa kali mengepal dan napasnya terhembus berat.

Kepalanya mendongak keatas, membaca tiga huruf familiar yang biasanya pun sering ia kunjungi.

UGD.

“Saka...”

Saka memutus pandangan, beralih kedepan, pada seorang wanita yang kini mengenakan satu tongkat untuk menopang tubuhnya. Senyum getir perlahan muncul, dengan salah satu kaki diperban, ia mendekat pada laki-laki lima langkah dihadapannya.

Sorry, gue ganggu waktu lo sama... Safa.” kata perempuan itu merasa bersalah.

Saka menghembuskan napas lewat mulut, matanya mengerjap sekali, kemudian ia melangkah maju. “Kenapa lo nggak hubungin gue dari awal?”

“Buat?” tanya Chika.

“Benerin lampu sialan itu.” jawab Saka berdecak jengkel, kemudian ia teringat, saat ia mengecek ponsel yang ia letakan didashboard mobil sedangkan ia memilih beristirahat dengan Safa didepan kap mobil. Sebuah panggilan tak terjawab atas nama Chika tertera dilayar ponsel. Bodohnya, ia tidak menghubungi balik, malah ia mengubah mode ponselnya menjadi silent.

Dan Saka menyesali hal itu.

Jika ia tahu bahwa Chika akan terluka seperti ini, ia pasti akan mengangkat panggilan itu dan lekas kembali kerumah.

“Ka,” seolah mengerti apa yang difikirkan Saka, Chika bersuara dengan pelan, kemudian menyentuh salah tangan Saka yang terkepal, “ini bukan salah lo, sungguh.”

“Tapi gara-gara gue lo--”

“Bukan salah lo,” kilah Chika memotong kalimat rasa bersalah itu dengan tegas, “gue yang terlalu sok jago buat benerin hal bener-bener payah buat gue.”

Saka meneguk salivanya berat.

Chika menghela napas. “Saka.”

Saka terdiam, masih dengan ekspresi kerasnya sebelum akhirnya menunduk dalam. Memejamkan mata erat-erat dan menormalkan pernafasan seiring menormalkan emosinya yang tidak terkendali didetik yang lalu.

“Gue nggak apa-apa, serius.” kata Chika kembali meyakinkan.

Saka menggaruk hidungnya lalu menatap Chika lamat-lamat. “Serius?”

Chika mengangguk dengan senyum manis. “Iya, kita bisa pulang, kan?”

Saka mengangguk, kemudian membantu Chika berjalan dengan merangkul bahu gadis itu.

Chika tersenyum simpul. “Gimana?”

“Apa?” tanya Saka.

Chika mengedikan bahu. “Safa lucu.”

Saka menyeringai sekilas. “Manja.”

Chika terkekeh kecil. “Lo butuh warna baru buat hidup lo, Saka. Nggak semuanya berjalan sesuai keinginan lo. Bisa aja hal yang ngerepotin lo malah cocok di lo kan. Jadi lo nggak harus jadi orang santai yang kebangetan.”

Saka berdecak, ia sebal jika Chika kembali mengomel tentang sikap santainya itu.

I see,” Chika nampak tersenyum ragu-ragu, menatap Saka dengan raut menggoda, “dia cocok sama lo.”

“Darimana nya?” tanya Saka menoleh pada Chika.

“Ya... kebrisikan dia bisa bikin keheningan hidup lo berkurang dan ngebuat hidup lo rame bukan?”

Saka dan SafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang