[11] Kebenaran yang lain

851 43 0
                                    


SEOLAH sial mendera diri Safa, Safa kembali kekelas dan langsung mendapat hukuman dari guru Kimia karena terlambat hampir satu jam. Dan yang membuat guru itu makin marah adalah Safa masih mengenakan seragam olahraga, padahal teman kelasnya memberi alasan pada Bu Oki saat guru itu bertanya jika Safa tengah berganti seragam tadi. Belum lagi, tugas yang diberikan oleh guru Kimia itu dan harus dikumpul hari ini belum selesai. Makin panas Bu Oki mengetahui hal itu.

Alhasil, kini Safa berdiri dipinggir lapangan yang sepi dan panas.

Titik-titik keringat kembali muncul didahi, dan Safa benci bahwa ia sial hari ini. Ntah siapa yang harusnya disalahkan, tapi Safa menyalahkan Saka sepenuhnya.

“Kenapa diam? Cepat lari! 10 kali!” teriak Bu Oki dibelakang Safa.

Bibir Safa membulat mendengar titah Bu Oki. “10 bu? Please, deh, aku gak lagi pendidikan militer, bu.”

“Ya makanya ibu latih dari sekarang! Gak usah protes kalo gak mau ibu tambah hukumannya.”

Safa tidak ada pilihan lain. Gadis itu membawa langkah cepatnya mengitar lapangan setelah menelan ludahnya berat.

Baru 2 putaran pun, Safa sudah lelah. Ia belum menuntaskan kehausannya sejak jam penjas orkes tadi. Dan, sekarang sudah harus lari lagi. Rasanya kepala Safa seperti akan copot saking peningnya. Namun, gadis itu tetap berlari dengan tertatih-tatih dan nafas berat hingga putaran keempat. Dadanya makin sesak dan sulit menarik napas, namun ia tetap berusaha untuk menyelesaikan hukuman Bu Oki.

Disisi lain, Saka yang baru saja kembali dari Koperasi sekolah pun menghentikan langkah ketika melihat gadis yang tidak asing tengah mengitari lapangan sekolah.

Pena dijarinya ia main kan sembari membawa langkah mendekati Bu Oki.

“Safa kenapa?” tanyanya pelan.

Bu Oki yang masih memainkan kipas didepan wajah sontak menoleh. “Terlambat dijam Ibu hampir satu jam. Dia gak ada bedanya sama Kakaknya.”

Saka mengernyit samar lalu kembali melihat Safa yang sudah kelelahan. Laki-laki itu menghembuskan napas pendek dan memasukan pena barunya kedalam saku celana.

“Saya juga terlambat, Bu.” kata Saka sebelum membawa langkah cepat memasuki lapangan.

Bu Oki terbelalak. “Sakaa, tapi kamu bukan pelajaran Ibuuuu.” serunya namun tak diindahkan oleh Saka.

Saka terus membawa langkahnya mendekati Safa yang sudah terengah-engah dan juga langkah yang tertatih-tatih. Dengan kaki panjang Saka, ia bisa berada didekat Safa dengan cepat.

“Berapa lama lari?” tanya Saka menyeimbangkan lari Safa.

Safa menoleh lalu geleng-geleng.

Saka mengernyit. “Berhenti.”

Safa kembali menggeleng. “Minggir lo.”

“Lo terlambat gara-gara tadi?”

Safa tak menjawab, tak ada sisa tenaga untuknya menjawab.

“Berhenti.” kata Saka lagi, penuh penekanan dan menuntut.

“Minggir lo,” Safa berusaha mendorong bahu Saka, “gue bentar lagi selesai.”

“Berapa lagi?”

“Li..ma.”

Saka melotot kecil, walaupun tak terlihat karena panas yang membuat matanya menyipit. Saka memperhatikan Safa, rambutnya yang diikat satu mengendur, keringat makin bercucuran diwajahnya yang memerah. Saka yakin gadis ini jauh dari kata baik-baik saja. Karena sebelum ini, Safa juga berlari dipenilaian penjas orkes.

Saka dan SafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang