[9] Jangan pergi

810 40 1
                                    


MOTOR besar milik Saka berhenti disebuah gudang tempat perjudian terbesar dikota. Saka yang sudah beberapa kali datang ketempat ini tidak bingung lagi membawa kakinya memasuki tempat yang kumuh dan terlihat seperti gudang pada umumnya itu. Namun, dibagian sisi gudang kumuh itu terdapat tempat perjudian yang mewah dan elite. Yang pastinya rahasia. Pelayan makanan pun terlihat berkelas, bukan hanya beer ataupun alkohol biasa yang terdapat disini, bahkan tempat ini menjual steak dengan daging sapi termahal. Wajar saja gudang ini tidak pernah membuat orang-orang curiga. Termasuk Saka saat pertama kali datang ketempat ini, walaupun laki-laki itu datang hanya untuk bertemu seseorang, bukan untuk melakukan hal yang sama seperti orang-orang lain yang datang kesini.

"Gimana, Sa? Mau turun aja?" tawar Bang Jash ketika melihat Saka mendekat padanya.

Saka menggeleng. "Gak mood, Bang."

Bang Jash tertawa, lantas menyelesaikan rokoknya untuk memulai percakapan sesuai dengan Saka sesuai tujuan Saka datang menghampiri dirinya disini.

"Minum?" Bang Jash kembali menawarkan.

Saka menggeleng, kembali menolak. Laki-laki itu singgah disebuah pilar yang sudah roboh, dan didepannya Bang Jash duduk diatas drum tua.

"Nih," Bang Jash mengambil lipatan kertas dari sakunya lalu menyodorkannya pada Saka. "Gue dapet dari Chika."

Nama Caca yang sebenarnya adalah Chika. Caca hanya panggilan tersendiri dari Saka karena perempuan itu sangat menyukai permen coklat Cha-cha.

Saka belum mengambil sodoran Bang Jash lantaran laki-laki itu masih ragu.

"Gue belom buka, Sa. Soalnya gue tau ini urusan lo sama dia." ujar Bang Jash ketika Saka tak kunjung mengambil kertas ditangannya.

"Apa itu, Bang?" tanya Saka menatap laki-laki berumur 28 tahunan itu.

Bang Jash menggeleng. "Surat, mungkin? Gue nggak ngecek, Sa. Coba lo periksa sendiri."

Saka mengangguk lalu mengambilnya walaupun belum berani membuka. Bahkan, kertas yang digunakan hanya sebuah kertas lipatan kecil, Saka menebak bahwa isinya mungkin tak lebih dari 2 baris.

"Lo ketemu dia?" tanya Saka.

"Gue ke Bali, sempet ketemu dia, cuman sebentar. Ngobrol dikit dan dia titip kertas itu ke gue buat lo."

"Jadi sekarang dia di Bali?"

Bang Jash menggeleng. "Dia di Jakarta, Sa."

Dentuman didadanya melambat namun berdentum keras. Saka sampai diam beberapa sekon untuk memastikan apa yang ia dengar tidak lah salah. Karena Bang Jash mengatakannya dengan cukup jelas.

"Tapi gue gak tau pastinya dia dimana, yang gue tau dia udah di Jakarta." kata Bang Jash kembali menghidupkan batang rokok yang lain, dan menyesapnya dalam-dalam sebelum membuang cincin asap keudara.

"Udah cukup lama, Sa. Gue rasa lo harus berhenti. Chika bukan lagi Caca yang lo kenal." Bang Jash menatap Saka nanar ketika laki-laki itu menunduk dan meremas kertas yang sebelumnya ia berikan pada anak laki-laki itu.

"Dia gak bakal berubah, Bang."

"Dunia itu kejam, asal lo tau. Setiap orang bakal berubah gitu aja tanpa mikirin janji yang pernah dia buat dulu. Lo gak buta dunia, Sa. Dunia cuman diisi sama manusia kotor, gak ada yang suci." ujar Bang Jash menarik sudut bibirnya miris.

Bang Jash loncat dari drum tua itu ketika Saka tak kembali membalas, laki-laki itu menepuk bahu Saka sekilas. "Gue udah bantu sebisa gue, Sa."

Setelah itu, Bang Jash pergi dan menuruni anak tangga menuju ruang bawah tanah.

Saka dan SafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang